petrukkanthongbolong

petrukkanthongbolong

Selasa, 05 April 2011

Pandangan Ulama tentang Tariqah dan Shufi

1. Pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah terhadap pandangan para shufi.

Ibnu Arabi dalam Kitab Fushulul Hikam halaman 90 mengatakan , “ Tuhan itu memang benar ada dan hamba itu juga benar ada Wahai kalau demikian siapa yang di bebani syariat? Bila engkau katakan yang ada ini adalah hamba, maka hamba itu mati atau (bila) engkau katakan yang ada ini adalah Tuhan lalu mana mungkin Dia dibebani syariat? ”

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Kitab Majmu’ Fatawa juz 11 halaman 401 beliau berkata : “ Tidak diragukan lagi oleh ahlul ilmi dan iman bahawasanya perkataan tersebut termasuk sebesar-besar kekafiran dan yang paling berat. Ia lebih jahat dari perkataan Yahudi dan Nashrani, karena Yahudi dan Nashrani beriman dengan sebahagian dari isi Al Kitab dan kafir dengan sebahagiannya, sedangkan mereka adalah orang-orang kafir yang sesungguhnya”

Dan berkaitan dengan jumlah dan tingkatan wali, dalam Kitab Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah ala Dhau il Kitab was Sunnah karangan Syaikh Sa’id al Qahthani halaman 411 , Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan ,“ Demikian juga semua hadits yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‚alaihi wa sallam tentang jumlah para wali , wali abdal , nuqaba‘, nujaba‘, autad , aqthab , dan jumlah mereka , empat atau tujuh , dua belas , empat puluh , tujuh puluh , atau tiga ratus , tiga belas , atau wali quthub yang hanya satu , semuanya tidak ada yang benar , tidak berasal dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan tidak pernah diucapkan oleh ulama salaf , kecuali lafal abdal dengan sanad yang terputus.“

2. Pandangan Imam Syafi’i tentang puji – pujian shufi.

Dalam Kitab Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah ala Dhau il Kitab was Sunnah halaman 401 Syaikh Sa’id al Qahthani menukil dari Kitab Fikrush Shufi karangan Syaikh Abdurrahman bin Abdul Khaliq bahwa Iman asy Syafi’i mengatakan , “ Aku meninggalkan kota Baghdad sementara di sana orang – orang zindiq membuat bid’ah yang mereka namakan Taghbir ( puji – pujian ) yang menghalangi manusia untuk membaca al Qur an. “

Dan dalam Kitab Talbis Iblis karangan Imam Ibnul Jauzi halaman 371 “Seandainya seseorang menjadi sufi pada pagi hari, maka siang sebelum dhuhur ia menjadi orang yang dungu.” Beliau juga pernah berkata: “ Seseorang yang menekuni tasawuf selama 40 hari, akal¬nya tidak bisa kembali normal selamanya.”


3. Pandangan Imam Ahmad.
Dalam Kitab Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah ala Dhau il Kitab was Sunnah halaman 401 Syaikh Sa’id al Qahthani menukil dari Kitab Thabaqatul Hanabilah , Imam Ahmad rahimahullah berpendapat senada dengan Imam asy Syafi’i. Ketika beliau ditanya tentang puji – pujian itu , beliau menjawab , “ Puji – pujian itu adalah bid’ah yang aku tidak suka.” Kemudian dikatakan kepada beliau , “ Puji – pujian itu membuat hati lembut.” Beliau memerintahkan , “ Kalian jangan duduk pada majlis mereka.” Beliau ditanya lagi , “ Apakah mereka dihajr ?” Beliau menjawab , “ Tidak sampai seperti itu.”
Kemudian dalam Kitab Talbis Iblis Syaikh Ibnul Jauzi pada halaman 193 mencontohkan suatu kasus, Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkomentar tentang diri Sary As-Saqathy, “Dia seorang syeikh yang dikenal karena suka menjamu makanan.” Kemudian ada yang mengabarinya bahwa as Saqathi berkata, tatkala Allah menciptakan huruf-huruf, maka huruf ba’ sujud kepada-Nya. Maka seketika itu pula Imam Ahmad berkata: “Jauhkanlah manusia darinya !”
4. Pendapat Syaikh Sa’id al Qahthani tentang asal - usul tashawwuf
Dalam Kitab Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah ala Dhau il Kitab was Sunnah halaman 383 Syaikh Sa’id al Qahthani menyebutkan , secara singkat bahwa tashawwuf bukan ajaran Islam , akan tetapi paham ini adalah percampuran dari tata cara ibadah orang – orang Persia , Yunani dan Nashrani . Buktinya adalah kenyataan bahwa ulama – ulama tashawwuf tumbuh di negeri Persia serta banyaknya kesamaan keyakinan dan tata cara ibadah antara pengikut tashawwuf dan penduduk Persia , khususnya keyakinan pada simbul yang diagungkan , lahir , batin , takwil dan lain – lain. Pendapat ini diperkuat oleh Abu Nashir as Siraaj dalam Kitab al Lam’u , menukil dari Kitab Wilayatullah wath Thariq Ilaihaa karangan Ibrahim Hilal , yang menyatakan bahwa tumbuhnya tashawwuf adalah pada masa jahiliyah sebelum Islam.
5. Syaikh Ihsan Ilahi Dhahir rahimahullah menulis:
Syaikh Ihsan Ilahi Dhahir, dalam Kitab At-Tashawwuf al-Mansya’ wal Mashadir halaman 27 beliau mengatakan ,“Ketika kita memperhatikan dengan teliti tentang ajaran sufi yang pertama dan terakhir, serta pendapat-pendapat yang dikutip dan diakui oleh mereka di dalam kitab-kitab sufi, baik yang lama maupun yang baru, maka kita akan melihat dengan jelas perbedaan yang jauh antara sufi dengan Al-Quran dan As-Sunnah. Begitu juga kita tidak melihat adanya bibit-bibit sufi di dalam perjalanan hidup Nabi saw dan para sahabat beliau, yang mereka itu adalah (sebaik-baik) pilihan Allah dari kalangan makhluk-Nya. Tetapi kita bisa melihat bahwa sufi diambil dari percikan kependetaan Nasrani, Brahmana (Hindu), Yahudi, dan kezuhudan Agama Budha.”
6. Dr. Shabir Tha’imah :
Dr Shobir Tho’imah, dalam Kitab Ash-Shufiyyah Mu’taqadan wa Masla¬kan mengatakan , “Jelas bahwa tasawwuf memiliki pengaruh dari kehidupan para pendeta Nasrani, mereka suka memakai pakaian dari bulu domba dan berdiam di biara-biara. Dan ini banyak sekali. Islam memutuskan kebiasaan ini ketika Islam membebaskan setiap negeri dengan tauhid.”

7. Pendapat Syaikh Al-Fauzan
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, dalam Kitab Hakikat Tasawwuf halaman 20 mengatakan, “Jelaslah bahwa sufi adalah ajaran dari luar yang menyusup ke dalam Islam. Hal itu tampak dari kebiasaan-kebiasaan yang dinisbatkan kepadanya. Sufi adalah suatu ajaran yang asing di dalam Islam dan jauh dari petunjuk Allah ‘Azza wa Jalla.
Yang dimaksud dengan kalangan sufi yang belakangan adalah mereka yang sudah banyak berisi dengan kebohongan. Adapun sufi yang dahulu, mereka masih berada di dalam keadaan netral, seperti Al-Fudhail bin ‘Iyadh, Al-Junaid, Ibrahim bin Adham dan lain-lain.”
8. Fatwa Lajnah Da imah
Fatwa Lajnah Daimah Li al-Buhuts Ilmiyyah wal al-Ifta Saudi Arabia mengenai Thariqah Shufi , tanggal 18 Jumadil Awal 1414H , No. Fatwa 16011 , memutuskan bahwa thariqah shufi, salah satunya Naqsyabandiyah, adalah aliran sesat dan bid’ah, menyeleweng dari Kitab dan Sunnah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَإِيَّاكُمْ وَالأُمُورَ الْمُحْدَثَاتِ ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.
Jauhilah oleh kalian perkara baru, karena sesuatu yang baru (di dalam agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.( HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi dan Hakim ).
Thariqah shufi tidak semata bid’ah. Bahkan, di dalamnya terdapat banyak kesesatan dan kesyirikan yang besar, hal ini dikarenakan mereka mengkultuskan syaikh / mursyid mereka dengan meminta berkah darinya, dan penyelewengan-penyelewengan lainnya bila dilihat dari Kitab dan Sunnah. Diantaranya, pernyataan-pernyataan kelompok sufi sebagaimana telah diungkap oleh penanya.
Semua itu adalah pernyataan yang batil dan tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah, sebab yang patut diterima perkataannya secara mutlak adalah perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana firman Allah :
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. ( QS. Al-Hasyr : 7 ).
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى
Dan tidaklah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya”. ( QS. An-Najm : 3 )
Adapun selain Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam, walau bagaimana tinggi ilmunya, perkataannya tidak bisa diterima kecuali kalau sesuai dengan Al-Kitab dan Sunnah. Adapun yang berpendapat wajib mentaati seseorang selain Rasul secara mutlak, hanya lantaran memandang “si dia/orang”nya, maka ia murtad (keluar dari Islam).
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Rabb selain Allah, dan (juga mereka menjadikan Rabb) Al-Masih putera Maryam ; padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa ; tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”. ( QS. At-Taubah : 31).
Ulama menafsirkan ayat ini, bahwa makna kalimat “menjadikan para rahib sebagai tuhan” ialah bila mereka menta’ati dalam menghalalkan apa yang diharamkan dan mengharamkan apa yang dihalalkan. Hal ini diriwayatkan dalam hadits Adi bin Hatim.
Maka wajiblah berhati-hati terhadap aliran sufi, baik dia laki-laki atau perempuan, demikianlah pula terhadap mereka yang berperan dalam pengajaran dan pendidikan, yang masuk ke dalam lembaga-lembaga. Hal ini agar tidak merusak aqidah kaum muslimin.
Lantas, diwajibkan pula kepada seorang suami untuk melarang orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya agar jangan masuk ke dalam lembaga-lembaga tersebut ataupun sekolah-sekolah yang mengajarkan ajaran sufi. Hal ini sebagai upaya memelihara aqidah serta keluarga dari perpecahan dan kebejatan para istri terhadap suaminya.
Barangsiapa yang merasa cukup dengan aliran sufi, maka ia lepas dari manhaj Ahlus Sunnah wa Jamaah, jika berkeyakinan bahwa syaikh sufi dapat memberikan berkah, atau dapat memberikan manfa’at dan madharat, menyembuhkan orang sakit, memberikan rezeki, menolak bahaya, atau berkeyakinan bahwa wajib menta’ati setiap yang dikatakan gurunya/syaikh, walaupun bertentangan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah.
Barangsiapa berkeyakinan dengan semuanya itu, maka dia telah berbuat syirik terhadap Allah dengan kesyirikan yang besar, dia keluar dari Islam, dilarang berloyalitas padanya dan menikah dengannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ ...... وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا
Dan janganlah kalian nikahi wanita-wanita musyrikah sebelum mereka beriman, ………. Dan janganlah kalian menikahkan (anak perempuan) dengan laki-laki musyrik sebelum mereka beriman ……..”. ( QS. Al-Baqarah : 221 ).
Wanita yang telah dilekati aliran sufi, akan tetapi belum sampai pada keyakinan yang telah kami sebutkan di atas, tetap tidak dianjurkan untuk menikahinya. Entah itu sebelum terjadi aqad ataupun setelahnya, kecuali bila setelah dinasehati dan bertaubat kepada Allah.
Yang kita nasehatkan adalah bertaubat kepada Allah, kembali kepada yang haq, meninggalkan aliran yang batil ini dan berhati-hati terhadap orang-orang yang menyeru kepada kejelekan-kejelekan. Hendaknya berpegang teguh dengan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah, membaca buku-buku bermanfa’at yang berisi tentang aqidah yang shahih, mendengarkan pelajaran, muhadharah dan acara-acara yang berfaedah yang dilakukan oleh ulama yang berpegang dengan teguh pada manhaj yang benar.
Juga kita nasehatkan kepada para istri agar taat kepada suami mereka dan orang-orang yang bertanggung jawab dalam hal-hal yang ma’ruf.
Semoga Allah memberikan taufiq-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar