petrukkanthongbolong

petrukkanthongbolong

Minggu, 10 April 2011

Para Shufi Menghina Ulama

Dalam Kitab Lujainid Dani tentang Karamah diceritakan bahwa dalam pengajian Syaikh Abdul Qadir al Jailani datanglah seratus ulama ahli fiqih dari Baghdad dan sekitarnya untuk bertanya masalah hukum Islam. Setiap ulama telah menyiapkan satu pertanyaan sehingga jumlah pertanyaan yang diajukan ada seratus masalah.
Kemudian datang Syaikh Abdul Qadir al Jailani di majlis pengajian tersebut seraya melihat kehadiran seratus ulama tersebut. Maka dada beliau membara karena marah dan memancarkan cahaya kilat menyambar seratus ulama tersebut dan mengakibatkan mereka hilang akal serta menjadi linglung. Mereka menjerit – jerit histeris , membuang surban – surban mereka dan merobek – robek pakaian mereka hingga hampir – hampir mereka telanjang di tengah – tengah yang hadir dalam pengajian yang jumlahnya banyak sekali.
Kemudian Syaikh Abdul Qadir al Jailani menjawab satu persatu dari pertanyaan seratus ulama tersebut dengan tuntas.
Hikayat ini dibaca dan didengar oleh ratusan juta umat Islam dan di antara mereka banyak yang membaca lebih dari seratus kali sehingga iman mereka makin kokoh dan mantap bahwa Syaikh Abdul Qadir al Jailani adalah Wali Quthub yang akan mengabulkan do’a mereka.
Oleh karena itu setelah membaca hikayat ini mereka berdo’a kepada arwah para wali yang antara lain berbunyi :
“Wahai Wali Quthub , wahai Wali Nujaba’ , wahai pemimpin para wali , wahai wali yang dicintai , kemarilah dan tolonglah kami.”
Penulis tidak mengingkari bahwa Allah SWT member karamah kepada wali-Nya sebagaimana Umar bin Khaththab RA ketika sedang berkhuthbah , kemudian member komando pasukan Islam yang sedang bertempur melawan tentara Persia yang berakhir dengan tumbangnya kerajaan Persia meskipun pernah jaya selama ribuan tahun.
Penulis yakin bahwa Umar bin Khaththab adalah waliyullah karena disaksikan oleh Rasulullah SAW termasuk sepuluh sahabat yang masuk surge tanpa hisab dan termasuk Khulafa’ur Rasyidin yang mendapat petunjuk dan harus diikuti sunnahnya sesudah beliau. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah dari sahabat Irbad bin Sariyah RA.
وَسَتَرَوْنَ مِنْ بَعْدِي اخْتِلاَفًا شَدِيدًا ، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي ، وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ ، عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ ، وَإِيَّاكُمْ وَالأُمُورَ الْمُحْدَثَاتِ ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.
Dan kalian akan melihat perselisihan yang banyak setelahku , maka kalian wajib berpegang pada sunnahku dan sunnah Khul\afa’ur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah sunnah – sunnah tersebut dengan gigi gerahangmu , dan berhati – hatilah kalian terhadap perkara – perkara yang diada – adakan. Sesungguhnya setiap bid’ah adalah sesat. ( HR. Ibnu Majjah dari Irbad bin Sariyah ).
Hikayat – hikayat palsu seperti di muka merupakan cara mursyid thariqah dan murid – muridnya untuk mendewakan Mursyid Agung mereka agar umat Islam yang pengetahuan agamanya kurang , meyakini bahwa Mursyid Agung Syaikh Abdul Qadir al Jailani adalah Wali Quthub al Ghauts yang mampu mengabulkan do’a – do’a mereka.
Para mursyid thariqah dan murid – muridnya suka mengarang hikayat – hikayat dusta dan fatwa – fatwa yang menyimpang dari syari’at Islam dan merendahkan ulama . Misalnya , belajar ibadah dari mursyid thariqah itu seribu kali lebih utama dibandingkan belajar dari ulama. Sebagaimana tersebut dalam Kitab Anwar yang dikarang oleh Abu Qasim as Suhaili dan dalam Kitab Kifayatul Atqiyah karangan Syaikh ad Dimyati ;
رَكْعَةٌ مِنْ عَارِفٍ أَفْضَلُ مِنْ أَلْقِ رَكْعَةٍ مِنْ عَالِمٍ
Satu raka’at dari seorang ‘Arif lebih utama dibandingkan seribu raka’at seorang ulama.
Demikian juga dalam Kitab Thabaqatusy Sya’rani menukil fatwa Mursyid Agung Syaikh Junaid al Baghdadi ;
اَلْمُرِيْدُ الصَّادِقُ غَنِيٌّ عَنْ عِلْمِ الْعُلَمَاءِ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِالْمُرِيْدِ خَيْراً أَوْقَعَهُ إِلَى الصُّوفِيَةِ وَمَنَعَهُ عَنْ صُحْبَةِ الْقُرَّاءِ
Murid yang benar tidak membutuhkan ilmu ulama. Dan apabila Allah SWT menghendaki kebaikan kepadanya maka Allah menetapkannya pada tashawwuf dan mencegahnya berkawan dengan ahli al Qur an.
Mereka lupa bahwa menghina ulama adalah dosa besar , karena ulama adalah orang – orang yang dimulyakan Allah sebagai pewaris para nabi yang ilmunya harus diambil dan digunakan untuk pegangan hidup di dunia. Sebagaimana dalam sebuah hadits riwayat Abu Dawud , at Tirmidzi dan Ibnu Majjah dari sahabat Abu Darda’ bahwa Rasulullah SAW bersabda ,
فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ ، إِنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ ، وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا ، إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ ، فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ.
Keutamaan orang yang berilmu dan ahli ibadah adalah seperti keutamaan rembulan terhadap seluruh bintang – bintang. Sesungguhnya ulama’ adalah pewaris para nabi, dan sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham , akan tetapi mereka mewariskan ilmu. Barang siapa yang mengambil ilmunya maka dia telah mengambil bagian yang banyak. ( HR.Abu Dawud , at Tirmidzi dan Ibnu Majjah dari Abu Darda’ RA. )
Mereka sengaja melupakan bahwa belajar agama kepada ulama’ yang faham al Qur an dan as Sunnah serta luas ilmunya sehingga menjadi faqih adalah ibadah yang paling utama disbanding ibadah – ibadah yang lain. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW dalam hadits yang diriwayatkan oleh Iman at Tirmidzi dari sahabat Abu Hurairah RA ,
مَا عُبِدَ اللَّهُ بِشَيْءٍ أَفْضَلُ مِنْ فِقْهٍ فِيْ الدِّيْنِ
Tidak ada ibadah kepada Allah yang lebih utama dibanding paham terhadap urusan agama. ( HR. at Tirmidzi dari Abu Hurairah )
Mereka melupakan bahwa orang yang bertaqwa kepada Allah adalah ulama’ , dan orang yang paling baik di dunia ini adalah orang – orang yang faham al Qur an dan as Sunnah serta dalam ilmu agamanya , bukan yang lain. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al Fathir ayat 28 ,
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
Sesungguhnya hamba yang takut kepada Allah hanyalah ulama’ ( QS. Fathir : 28 )
Dan sabda Rasulullah SAW dalam hadits Shahih Bukhari dan Muslim dari sahabat Muawiyah RA ,
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah menjadi baik , maka Allah memahamkannya dalam urusan agama. ( HR. Bukhari dari Muawiyah RA ).
Apa yang dilakukan mursyid thariqah dan murid – muridnya yaitu menyebar luaskan hikayat – hikayat dusta yang menghina ulama dan fatwa – fatwa yang menyimpang dari syari’at Islam dari Mursyid Agung mereka yang merendahkan ulama’ akan menjerumuskan mayoritas umat Islam ke dalam dosa besar.
Untuk menyelamatkan umat Islam dari perbuatan dosa yang sudah mengelilingi kehidupan di dunia ini , Rasulullah SAW bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad , al Hakim dan al Bazar dari sahabat Ubadah bin Shamid ,
ليس من أمتي من لم يجل كبيرنا ويرحم صغيرنا ويعرف لعالمنا حقه
Bukan termasuk umatku orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan tidak menyayangi yang lebih muda dan tidak tahu hak – hak para ulama’ ( HR. Ahmad , al Hakim dan al Bazar dari Ubadah bin Shamid RA. )
Fatwa para mursyid thariqah tersebut di atas banyak tertulis dalam kitab – kitab thariqah. Fatwa – fatwa seperti ini diyakini kebenarannya oleh seluruh murid thariqah karena keluar dari lisan mursyid agung yang mereka yakini sebagai Wali Quthub yang mendapat ilham dari Allah SWT.
Padahal fatwa ini jelas menentang Allah dan Rasul Nya , karena ada ratusan ayat al Qur an yang memerintahkan agar umat Islam mempelajari dan memahami al Qur an , melaksanakan perintahnya dan menjauhi larangannya serta mengikuti petunjuknya. Misalnya firman Allah SWT dalam surat at Taubah ayat 122 ,
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memahami urusan agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. ( QS. At Taubah : 122 ).
Dan Sabda Rasulullah SAW dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majjah dari sahabat Abu Dzarr al Ghifari ,
يَا أَبَا ذَرٍّ ، لأَنْ تَغْدُوَ فَتَعَلَّمَ آيَةً مِنْ كِتَابِ اللهِ ، خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ تُصَلِّيَ مِئَةَ رَكْعَةٍ
Wahai Abu Dzarr ,apabila engkau datang pagi – pagi kemudian engkau mempelajari satu ayat al Qur an , maka hal itu lebih baik dibandingkan engkau shalat seratus raka’at. ( HR. Ibnu Majjah dari Abu Dzarr al Ghifari ).

Jumat, 08 April 2011

Wasiat

A. WASIAT
Wasiat menurut bahasa mengandung beberapa arti: menjadikan, menaruh belasan kasihan, berpesan, menyambung, memerintahkan, mewajibkan .
Secara etimologi, para ahli hukum Islam mengemukakan bahwa wasiat adalah pemilikan yang didasarkan pada orang yang menyatakan wasiat meninggal dunia dengan jalan kebaikan tanpa menuntut imbalan atau tabarru' . Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa pengertian ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh para ahli hukum Islam dikalangan madzhab Hanafi yang mengatakan wasiat adalah tindakan seseorang yang memberikan haknya kepada orang lain untuk memiliki sesuatu baik kepada orang lain untuk memiliki sesuatu baik merupakan kebendaan maupun manfaat secara suka rela tanpa imbalan yang pelaksanaannya ditangguhkan sampai terjadi kematian orang yang me nyatakan wasit tersebut. Sedangkan Al-Jaziri, menjelaskan bahwa dikalangan mazhab Syafi'i, Hambali, dan Miliki memberi definisi wasiat secara rinci, wasiat adalah suatu transaksi yang mengharuskan orang yang menerima wasiat berhak memiliki sepertiga harta peninggalan orang yang menyatakan wasiat setelah ia meninggal dunia . Dan dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia (pasal 171 huruf b).
Sehubungan dengan pengertian dan kedudukan wasiat dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia ada sedikit perbedaan dalam pelaksanaannya, sehingga menimbulkan beberapa problema hukum dan bersinggungan dengan hukum kewarisan Islam yang memerlukan solusi penyelesaiannya, maka di sini akan mencoba membahas tentang beberapa masalah hukum tentang wasiat tersebut dan permasalahannya, terutama yang berhubungan dengan ahli warisnya.
a. Orang Yang Menerima Wasiat
Diantara syarat-syarat orang yang akan menerima wasiat ialah, bukanlah pada ahli waris. Pendapat inilah yang dipegang oleh mazhab yang empat, Hanafi, Maliki, Syaf'i, dan Hambali. Dasar hukum yang ditunjukkan oleh hadis Rasulullah yang menegaskan "tidak ada wasiat bagi ahli waris"(H.R. Tirmizi). Pertimbangan mengapa wasiat tidak dibenarkan kepada ahli waris mudah dipahami, karena wasiat dalam fungsi sosialnya dimaksudkan untuk memberikan kelapangan kepada kerabat dekat yang tidak termasuk ke dalam jumlah ahli waris yang mendapat pembagian harta peninggalannya, untuk membantu kaum dhuafa', fakir miskin, atau untuk memberi sumbangan kepada sarana ibadah atau pendidikan . Tidak semua kerabat mendapat harta warisan, dan tidak semua mereka hidup lapang. Diantara mereka ada yang terhijab oleh kerabat yang lebih dekat, dan ada pula semacam kerabat yang tidak termasuk ahli waris yang mendapat warisan disamping banyak sarana ibadah atau pendidikan yang memerlukan dana dari yang punya harta. Tujuan seperti itu akan sulit dicapai bilamana wasiat ditujukan kepada ahli waris. Di sisi lain, berwasiat kepada ahli waris bisa menimbulkan silang sengketa diantar ahli waris itu sendiri. Pihak ahli waris yang mendapat harta wasiat merasa diutamakan, sedangkan pihak yang tidak mendapat wasiat merasa dianaktirikan. Membeda-bedakan antara anak yang satu dengan anak yang lain dalam pemberian, terlarang dalam Islam. Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda: "Samakanlah pemberian diantara anak-anak kamu" (H.R. Bukhari). Mewasiatkan harta kepada sebagian anak berarti membuka kemungkinan silang sengketa diantara mereka.
Berwasiat kepada ahli waris tidaklah dibenarkan, kecuali atas persetujuan ahli waris yang lain, seperti yang ditegaskan dalam sebuah hadis riwayat Daruquthni. Ketentuan hadis itu dipegang oleh Imam Abu Hanifah, syafi'I dan Ahmad bin Hambal. Kesimpulan ini adalah didasarkan bahwa tidak bolehnya berwasiat kepada ahli waris karena menimbang hak dan perasaan hati ahli waris yang lain. Oleh sebab itu, jika ahli waris yang lain itu menyetujuinya, maka wasiat itu dibolehkan. Berbeda pendapat diatas, kalangan Malikiyah dan Zahiriyah berpendapat bahwa larangan berwasiat kepada ahli waris tidak menjadi gugur dengan adanya persetujuan ahli waris yang lain. Menurut mereka, larangan seperti itu adalah termasuk hak Allah SWT yang tidak bisa gugur dengan kerelaan manusia. Ahli waris tidak berhak membenarkan sesuatu yang dilarang Allah SWT. Menurut pandangan ini, suatu hal yang paling penting dalam hal ini ialah, agar harta tidak bertumpuk pada tangan ahli waris. Sebagian harta itu perlu disalurkan kepada hal-hal lain yagn membutuhkannya . Andaikan ahli waris menyetujuinya juga, begitu dijelaskan dalam pandangan ini, maka statusnya bukan lagi sebagai wasiat, tetapi bertukar menjadi hibah (pemberian) dari pihak ahli waris itu sendiri, yang harus memenuhi syarat tertentu sebagai mana lazimnya hibah.
Bilamana berpegang kepada pendapat yang pertama tadi, yaitu wasiat kepada ahli waris dibolehkan dengan syarat persetujuan ahli waris yang lain, maka jika sebagian ahli waris menyetujui sedangkan sebagian lain tidak menyetujuinya, dalam ketentuan fikih, wasiat itu dianggap sah pada kadar hak ahli waris yang menyetujuinya, dan tidak sah pada kadar hak ahli waris yang tidak menyetujuinya.
Pendapat yang melarang berwasiat kepada ahli waris adalah pendapat mayoritas ulama' Syafi'iyah, Hanafiyah, malikiyah, dan Hanabilah. Berbeda dengan itu, kalangan Syi'ah Imamiyah dan sebagian dari kalangan Syi'ah Zaidiyah membolehkan wasiat kepada ahli waris, tanpa persetujuan ahli waris yang lain. Pendapat ini berlandaskan: kepada ayat 180 surat Al-Baqarah yang artinya: "Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara baik, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa" .
Mereka menolak pendapat mayoritas ulama yang mengatakan bahwa ayat diatas sudah dinasakh (dihapuskan) hukumnya sama sekali oleh ayat-ayat yang mengatur pembagian harta warisan. Menurut mereka yang dinasakh hanya hukum wajibnya wasiat kepada ahli waris. Setelah hukum wajibnya dihapuskan oleh ayat-ayat yang mengatur pembagian harta warisan, maka ayat tersebut tetap berfungsi membenarkan atau membolehkan berwasiat kepada ahli waris .
Bolehnya berwasiat kepada ahli waris menurut mereka dengan beberapa pertimbangan, antara lain, dari sekian jumlah anak umpamanya ada yang telah banyak mengurus dan mengabdi kepada orang tuannya di masa keduanya masih hidup. Untuk hal yang seperti ini adalah wajar mengkhususkan sebagian harta untuk mereka dengan jalan wasiat, disamping pembagian warisan yang akan diterimanya. Hal lain yang menjadi pertimbangan adalah, bisa jadi ada diantara ahli waris yang hidupnya kurang beruntung di bidang ekonomi dibandingkan dengan ahli waris yang lain. Untuk membela nasib mereka, orang tuanya dapat mempertimbangkan sebelum wafat mewasiatkan sebagian hartanya untuk anaknya itu.
b. Jumlah Harta Yang Boleh Diwasiatkan
Demi kepentingan ahli waris yang ditinggalkan, seseorang hanya berhak mewasiatkan sebagian kecil dari harta kekayaannya. Hal ini dimaksudkan, agar wasiat tidak menjurus kepada malapetaka bagi ahli waris yang ditinggalkan. Kadar sepertiga harta, dan hanya sekedar itu yang boleh diwasiatkan, adalah hak bagi seseorang yang akan menemui ajalnya. Dalam sebuah hadis Rasulullah diceritakan, Dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra, ia bertutur: Nabi saw pernah datang menjengukku waktu di Mekkah. Dan, saya tidak suka meninggal dunia di daerah yang saya pernah hijrah darinya. Sabda Beliau, “Mudah-mudahan Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Ibnu Afrak.” (Sa’ad) jawab, “Ya Rasulullah bolehkah saya mewasiatkan seluruh harta kekayaanku?” Jawab Beliau, “Tidak (boleh).” Tanya saya, “Separuh?” Jawab Beliau, “Tidak (juga).” Saya bertanya (lagi), “Sepertiga?” Dijawab, “Sepertiga, dan sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan mampu itu jauh lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin hingga meminta-minta kepada orang lain. Sesungguhnya, betapapun kecilnya belanja yang kau nafkahkan, maka sesungguhnya itu adalah shadaqah, sampai pun sepotong makanan yang kau suapkan ke mulut isterimu (itu adalah shadaqah), dan mudah-mudahan Allah mengangkat (derajat)mu, sehingga orang-orang (muslim) mendapat banyak manfa’at darimu dan orang-orang lain (kaum musyrikin) tertimpa bahaya.” Sedangkan pada waktu itu dia hanya memiliki seorang puteri. Hadis tersebut secara tegas melarang wasiat lebih dari sepertiga harta, dan sepertiga itu sudah dianggap banyak. Artinya dalam kondisi tertentu, berwasiat kurang dari sepertiga harta, dianggap lebih baik, sehingga dengan itu tidak mengurangi kelapangan ahli waris yang ditinggalkan. Ke simpulan tersebut sejalan dengan pendapat Abi Ishaq Asy-Syirazi dalam kitabnya Al-Mhazzab. Menurutnya, bilamana ahli waris hidup tidak lapang, jika seseorang mau berwasiat hendaknya kurang dari sepertiga hartanya. Bahkan Rasulullah SAW pernah mengingatkan bahwa berwasiat sepertiga harta itu sudah dianggap banyak (H.R. Bukhari).
Adanya pembatasan dimaksudkan demi menjaga kepentingan ahli waris, maka wasiat lebih dari bsepertiga diakui jika ahli waris itu mneyetujuinya. Perbedaan pendapat terjadi terjadi dalam hal seseorang tidak mempunyai ahli waris. Menurut Abu Hanifah, mengacu pada pendapat Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Mas'ud, bahwa dalam kondisi demikian seseorang boleh mewasiatkan lebih dari sepertiga bahkan seluruh hartanya. Baitulmal baru berhak, bilamana yang punya harta tidak mewasiatkan seluruhnya. Berbeda dengan itu, pendapat yang menyatakan bahwa ketentuan tidak boleh berwasiat lebih dari sepertiga harta tetap berlaku ketika seseorang tidak mempunyai ahli waris. Seperti yang dinukil oleh Sayyid Sabiq , kesimpulan tersebut adalah pendapat mayoritas ulama'. Menurut pandangan ini, harta yang duapertiga lagi adalah mutlak milik Baitulmal, untuk disalurkan kepada kepentingan umum.
c. Wasiat Wajibah
Tentang kewajiban wasiat wajibah diambil dari pendapatnya fuqoha dan Tabi'in besar ulama fikih dan ahli hadis, antara lain Said Ibnu Al-Musyyah, Hasan Al-Basyri, tawus, Ahmad, Ishaq Ibnu Rawaih, dan Ibnu Hazm. Pada dasarnya memberiakn wsasiat itu adalah suatu tindakan ikhtiyariah. Yakni suatu tindakan yang dilakukan atas dorongan kemauan sendiri dalam keadaan bagimana juga. Penguasa maupun hakim tidak dapat memaksa seseorang untuk memberikan wasiat. Adapaun kewajiban wasiat bagi seseorang disebabkan keteledoran dalam memenuhi hak-hak Allah SWT. Seperti tidak menunaikan haji, enggan membayar zakat, melanggar larangan puasa dan lain sebagainya telah diwajibkan oleh syari'at sendiri, bukan oleh penguasa atau hakim .
Namun demikian penguasa mempunyai wewenang untuk memaksa atau memberi putusan wajib wasiat/ wasiat wajibah kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu. Dikatakan wasiat wajibah disebabkan karena dua hal:
1. hilangnya unsur ikhtiar bagi si pemberi wasiat dan munculnya unsur kewajiban melalui perundang-undangan atau surat keputusan tanpa tergantung kerelaan orang yang berwasiat dan fpersetujuan si penerima wasiat.
2. ada kemiripannya dengan ketentuan pembagian harta pusaka dalam penerimaan laki-laki 2 kali lipat bagian perempuan.
Adapun orang-orang yang berhak mendapat wasiat adalah cucu laki-laki atau perempuan baik pancer laki-laki atau perempuan yang terhalang mendapat warisan karena adanya anak si mayyit terlebih dahulu meninggal dunia.
Sedang besarnya wasiat wajibah adalah 1/3 harta peninggalan, tidak boleh lebih.
B. HIBAH
1. Pengertian Dan Ketentuan-Ketentuan Hibah
Menurut pengertian bahasa, hibah berarti mutlak "pemberian" baik berupa harta benda ataupun yang lainnya. Menurut istilah syara' ialah: "Memberikan hak memiliki sesuatu kepada orang lain dengan tanpa imbalan" . Dan menurut para ulama adalah:
a) Memberikan hak memiliki suatu benda dengan tanpa ada syarat harus mendapat imbalan ganti, pemberian mana dilakukan pada saat si pemberi masih hidup. Benda yang dimiliki yang akan diberikan itu ada;ah sah milik si pemberi (menurut Mazhab Hanafi).
b) Memberikan hak memiliki suatu zat materi dengan tanpa mengharapkan imbalan/ganti. Pemberian mana semata-mata hanya di peruntukan kepada orang yang diberi (Mauhublah). Artinya si pemberi hanya ingin menyenangkan orang yang diberinya tanpa mengharapkan adanya pahala dari Allah SWT. Hibah menurut Mazhab Maliki ini sama dengan Hadiah. Apabila pemberian itu semata-mata untuk meminta ridha Allah dan mengharapkan dapat pahala-Nya menurut mazhab ini dinamakan sedekah (Sadaqah).
c) Memberikan hak memiliki sesuatu oleh seseorang yang dibenarkan tasarrufnya atas suatu harta baik yang dapat diketahui atau karena susah untuk mengetahuinya. Harta itu ada wujudnya untuk diserahkan. Pemberian mana tidak bersifat wajib dan dilakukan pada waktu si pemberi masih hidup dengan tanpa syarat ada imbalan, (menurut Mazhab Hambali).
d) Pemberian hanya sifatnya sunnah yang dilakukan dengan Ijab dan Kabul pada waktu si pemberi masih hidup. Pemberian mana tidak dimaksudkan untuk menghormati atau memuliakan seseorang dan tidak dimaksudkan untuk mendapat pahala dari Allah atau karena menutup kebutuhan orang yang diberikannya (menurut Madzhab Syafi'i).
Hal-hal yang berkaitan dengan ahli waris beragam masalah, diantaranya:
a. Tetang Penghibahan Seluruh Harta
Sayyid sabiq mengemukakan bahwa para ahli hukum Islam sepakat bahwa se3sweorang dapat menghibahkan semua hartanya kepada orang yang bukan ahli warisnya . tetapi Muhammad Ibnu Hasan dan sebagian pentahkik madhab Hanafi mengatakan tidak sah menghibahkan semua harta, meskipun untuk keperluan kebaikan. Dalam hal ini dapat dibedakan dalam dua hal, jika hibah itu diberikan kepada orang lain (selain ahli waris) atau suatu badan hukum, mayoritas ahli hukum islam sepakat tidak ada batasnya, tetapi jika hibah itu diberikan kepada anak-anak pemberi hibah, ,menurut Imam Malik dan ahli zhahir tidak memperbolehkannya, sedangkan fuqaha Amsar menyatakan makruh. Sehubungan dengan tindakan Rasulullah SAW terhadap kaum Nukman Ibnu Basyir menunjukkan bahwa hibah orang tua kepada anaknya haruslah disamakan bahkan banyak hadis lain yang reaksinya berbeda menjelaskan ketidakbolehan membedakan pemberian orang tua kepada anaknya secara berbeda, yang satu lebih banyak dari yang lain.
b. Hibah Pada Waktu Sakit
hibah yang dilakukan orang sakit dalam kondisi yang k\menghawatirkan (kronis) yang kemudian meninggal, menurut jumhur hanya sah untuk sepertiganya, hal ini dikiaskan dengan masalah wasiat. Berdasarkan hadis Imran bin Husain, "Diberitakan bahwa ada orang sakit sewaktu ia akan meninggal memerdekakan enam orang sahaya. Kemudian Rasulullah SAW memerintahkan kemerdekakan sepertiganya saja yaitu dua orang.
c. Hibah Umra'
Hibah 'Umra ini bermula seorang sahabat memberi rumah kepada sahabatnya yang lain selama sahabat itu masih hidup. Menurut Imam Maliki, mauhublah (penerima hibah) hanya berhak manfaat atas rumah atau benda itu selama hidupnya. Bila mauhublah itu meninggal dunia maka rumah atau benda yang dihibahkan itu kembali kepada wahib (pemberi hibah). Alasan hukumannya ialah hadis Jabir yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Bersabda Rasulullah SAW apabila seseorang berkata: "ini untukmu selama kami masih hidup", maka berlakulah selama hidup itu. Terhadap hal tersebut imam Syafi'I, Abu Hanifah, Atsauri, Ahmad dan segolongan fuqoha mengatakan bahwa 'Umra merupakan yang terputus sama sekali dan hibah tersebut merupakan hibah terhadap pokok barangnya (ar-roqobah). Sehubungan dengan ini, pengambilan hibah setelah orang yang diberi hibah itu meninggal dunia merupakan tindakan batil. Hibah yang diberikan itu merupakan pemberian yang permanen, baik dikala ia masih hidup dan dikala ia meninggal dunia. Jika meninggal terlebih dahulu, maka barang yang dihibahkan itu dapat diwariskan kepada ahli warisnya dan jika orang yang menerima hibah itu tidak ada ahli warisnya maka barang yang dihibahkan itu diserahkan kepada baitul mal dan tidak dikembalikan dan tidak dikembalikan kepada orang yang memberi hibah walaupun sedikit. Pendapat ini didasarkan pada hadis dari Urwah bahwa nabi Muhammad SAW pernah bersabda bahwa barang-barang yang dihibahkan secara 'umra adalah untuk si penerima hibah dan dapat diwariskan kepada anak-anaknya. Hadis yang serupa ini diriwayatkan oleh Muslim, Abu Daud, At-Tirmidhi, An-Nasa'I dan Ibnu Majah .

Rabu, 06 April 2011

Syirik : Tujuan Utama Dakwah Syetan

Di antara bentuk dosa yang dilalaikan dan dipandang remeh oleh kaum muslimin adalah dosa kesyirikan. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini penulis akan menjelaskan sedikit tentang bahaya syirik. Semoga dengan pembahasan ini dapat mengubah pandangan kita selama ini tentang bahaya kesyirikan yang mungkin belum kita ketahui.

Syirik Merupakan Salah Satu Pembatal Islam

Di antara sebab terbesar batalnya Islam seseorang adalah berbuat syirik kepada Allah Ta’ala. Yaitu dengan beribadah kepada selain Allah Ta’ala, di samping juga beribadah kepada Allah, seperti bernadzar kepada selain Allah, bersujud kepada selain Allah, atau meminta pertolongan kepada selain Allah dalam hal-hal yang tidak ada yang bisa memenuhinya kecuali Allah Ta’ala saja. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka. Tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” (QS. Al-Maidah [5]: 72)

Allah Ta’ala berfirman yang artinya,“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang tingkatannya di bawah (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa’ [4]: 48)

Oleh karena itu, kesyirikan adalah dosa yang paling berbahaya, namun banyak dilakukan oleh orang-orang yang mengaku sebagai muslim dan mengucapkan “laa ilaaha illallah”. Mereka memang melaksanakan shalat dan puasa. Akan tetapi mereka mencampur amal ibadah mereka dengan syirik akbar, sehingga mereka pun keluar dari Islam.

Syirik Merupakan Tujuan Utama “Dakwah” Setan

Tauhid merupakan fitrah yang Allah Ta’ala ciptakan untuk manusia. Setiap manusia yang ada di dunia ini terlahir di atas fitrah tauhid, meskipun dia dilahirkan oleh orangtua yang musyrik. Allah Ta’ala berfirman yang artinya,“Dan (ingatlah), ketika Rabb-mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari tulang punggung mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman),’Bukankah Aku ini Rabb-mu?’ Mereka menjawab,’Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi.’” (QS. Al-A’raf [7]: 172)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Tidak ada satu pun anak yang dilahirkan kecuali dilahirkan di atas fitrah. Orangtuanya-lah yang menjadikannya sebagai orang Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Seperti seekor hewan yang dilahirkan dalam keadaan selamat (sama persis dengan induknya), apakah Engkau merasakan adanya cacat padanya?“ (HR. Bukhari no. 1385 dan Muslim no. 6926)

Karena manusia dilahirkan di atas fitrah tauhid, maka setan akan berusaha mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menyesatkan manusia agar mereka menyimpang dari fitrah tauhid tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Sesungguhnya Rabb-ku memerintahkanku untuk mengajari kalian apa-apa yang belum kalian ketahui. Di antara hal-hal yang diajarkan kepadaku hari ini adalah, setiap harta yang Aku berikan kepada hamba-Ku, maka (menjadi) halal baginya. Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-Ku seluruhnya dalam keadaan hanif (menjadi seorang muslim, pen.). Kemudian datanglah setan kepada-Nya yang menjadikan mereka keluar dari agama mereka. Serta mengharamkan hal-hal yang Aku halalkan untuk mereka. Dan juga menyuruh mereka untuk menyekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak Aku turunkan keterangan tentang itu … ” (HR. Muslim no. 7386)

Setan sendiri telah berjanji di hadapan Allah Ta’ala bahwa dia akan berusaha untuk mengubah fitrah yang telah Allah Ta’ala ciptakan untuk manusia. Allah Ta’ala berfirman yang artinya,“Yang dilaknati Allah dan setan itu mengatakan,’Saya benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bagian yang sudah ditentukan (untuk saya). Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya. Dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu mereka benar-benar mereka mengubahnya’. Barangsiapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.” (QS. An-Nisa’ [4]: 118-119)

Para ulama ahli tafsir berbeda pendapat tentang maksud ayat,”Dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah)”. Adapun pendapat yang paling tepat sebagaimana yang dipilih oleh Abu Ja’far Ath-Thabary rahimahullah adalah,”Mengubah agama Allah.” (Lihat Tafsir Ath-Thabary, 9/222)

Syaikh Muhammad Asy-Syinqithi rahimahullah menjelaskan,”Sebagian ulama mengatakan bahwa makna ayat ini adalah setan menyuruh mereka untuk kafir dan mengubah fitrah agama Islam yang telah Allah Ta’ala ciptakan untuk mereka. Perkataan ini dijelaskan dan ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala (yang artinya), ‘(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus’ (QS. Ar-Ruum [30] : 30). Maksudnya adalah, janganlah mengubah fitrah yang telah diciptakan atas kalian dengan (mengerjakan) kekafiran”. (Tafsir Adhwa’ul Bayan, 1/341)

Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata,”Sesungguhnya setiap orang dilahirkan di atas fitrah (yaitu tauhid, pent.). Akan tetapi orang tuanyalah yang menjadikannya sebagai orang Yahudi, Nasrani, Majusi, atau yang semisalnya dari fitrah yang telah Allah tetapkan kepada hamba-Nya. Fitrah itu adalah mentauhidkan Allah, mencintai-Nya, dan mengenal-Nya. Setan akan memburu mereka dalam masalah ini sebagaimana binatang buas yang memburu seekor kambing yang terpisah dari kawanannya”. (Tafsir Taisir Karimir Rahman, hal.204)

Dari sini jelaslah bahwa tujuan utama “dakwah” setan adalah menjerumuskan manusia ke dalam kesyirikan. Karena ketika manusia sudah terjerumus ke dalamnya, maka batal-lah tauhidnya. Dan ketika tauhidnya sudah batal, maka sebanyak apa pun amal shalih yang diperbuatnya, semuanya akan menjadi sia-sia belaka. Sehingga setan pun tidak mempunyai kepentingan lagi untuk mengganggunya.

Oleh karena itu, kita kadang melihat orang-orang yang berbuat syirik dengan beribadah di makam orang-orang shalih, mereka beribadah dengan melaksanakan shalat, berdzikir, atau membaca Al Qur’an dengan penuh kekhusyu’an. Bahkan bisa jadi mereka beribadah di sisi makam tersebut semalam suntuk tanpa merasa lelah dan mengantuk. Sesuatu yang mungkin sangat sulit dilakukan oleh orang-orang selain mereka. Demikianlah, kekhusyu’an mereka itu tidak lain karena memang setan tidak lagi mempunyai kepentingan untuk mengganggu ibadahnya tersebut. Karena setan sudah mengetahui, bahwa sebanyak apa pun amal ibadah yang mereka lakukan semuanya akan sia-sia belaka dan tidak akan diterima oleh Allah Ta’ala.

Syirik Merupakan Dosa yang Tidak Akan Diampuni Jika Tidak Mau Bertaubat

Allah Ta’ala berfirman,”Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang tingkatannya lebih rendah dari (syirik) itu, bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh dia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa’ [4]: 48)

Ayat ini menunjukkan betapa berbahayanya dosa syirik karena Allah Ta’ala tidak akan mengampuninya kecuali jika pelakunya bertaubat darinya. Padahal, ampunan dan rahmat Allah Ta’ala sangatlah luas dan meliputi segala sesuatu. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Hajj [22]: 60)

Hal ini diperkuat oleh hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang wanita sedang menggendong anaknya sambil memberi makan, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabatnya,“Menurut kalian, apakah ibu ini tega melemparkan anaknya ke dalam kobaran api?” Para sahabat menjawab,”Tidak, demi Allah! Dia tidak akan tega, selama dia mampu untuk tidak melemparkan anaknya”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Sungguh Allah lebih mengasihi para hamba-Nya dibandingkan kasih sayang ibu ini kepada anaknya.” (HR. Bukhari no. 5999 dan Muslim no. 7154)

Ayat dan hadits di atas menunjukkan betapa besar kasih sayang dan ampunan Allah Ta’ala kepada hamba-hambaNya, melebihi kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Akan tetapi, orang-orang musyrik tidak ikut tercakup di dalamnya. Hal ini menunjukkan begitu besarnya kejahatan dan kedzaliman yang ditimbulkan oleh kesyirikan.

Maka barangsiapa yang meninggal di atas kesyirikan, maka dia tidak akan diampuni. Sehingga hal ini menunjukkan betapa bahayanya kesyirikan. Kita wajib menghindarinya sejauh-jauhnya. Setiap dosa masih mungkin dan masih ada harapan untuk diampuni jika pelakunya tidak bertaubat, kecuali dosa syirik. Sedangkan kesyirikan tidak mungkin untuk dihindari kecuali dengan mempelajarinya dan mengetahui bahayanya. (Lihat I’anatul Mustafiid, 1/95)

Apabila seseorang berbuat syirik kemudian bertaubat dan meninggal di atas tauhid, maka Allah Ta’ala akan mengampuni dosa-dosanya, termasuk dosa syirik. Dalam hal ini, Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Katakanlah,’Hai hamba-hambaKu yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar [39]: 53)

Inilah sebagian kecil di antara bahaya-bahaya kesyirikan. Oleh karena itu, sudah selayaknya apabila seseorang sangat takut untuk terjerumus ke dalam perbuatan syirik. Dalam hal ini, Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam telah memberikan teladan kepada kita ketika beliau berdoa kepada Allah Ta’ala, “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata,’Wahai Rabb-ku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman. Dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala-berhala. Wahai Rabb-ku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan mayoritas manusia’”. (QS. Ibrahim [14]: 35-36)

Ibrahim ‘alaihis salaam berdoa seperti itu, padahal beliau telah memiliki kedudukan yang sangat tinggi sebagai kekasih Allah (khalilullah). Meskipun demikian itu keadaan Ibrahim ‘alaihis salaam, beliau tetap mengkhawatirkan apabila dirinya jatuh terjerumus ke dalam perbuatan syirik, karena hati manusia berada di antara jari-jemari Ar-Rahman. Oleh karena itulah, sebagian ulama mengatakan,”Dan siapakah yang merasa aman dari ujian setelah Ibrahim ‘alaihis salaam (tidak merasa aman)?” Karena Ibrahim ‘alaihis salaam mengkhawatirkan dirinya kalau terjerus ke dalam perbuatan syirik ketika beliau melihat banyak manusia yang terjerumus ke dalamnya. Wallahu a’lamu. (muslim.or.id)

Selasa, 05 April 2011

Pandangan Ulama tentang Tariqah dan Shufi

1. Pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah terhadap pandangan para shufi.

Ibnu Arabi dalam Kitab Fushulul Hikam halaman 90 mengatakan , “ Tuhan itu memang benar ada dan hamba itu juga benar ada Wahai kalau demikian siapa yang di bebani syariat? Bila engkau katakan yang ada ini adalah hamba, maka hamba itu mati atau (bila) engkau katakan yang ada ini adalah Tuhan lalu mana mungkin Dia dibebani syariat? ”

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Kitab Majmu’ Fatawa juz 11 halaman 401 beliau berkata : “ Tidak diragukan lagi oleh ahlul ilmi dan iman bahawasanya perkataan tersebut termasuk sebesar-besar kekafiran dan yang paling berat. Ia lebih jahat dari perkataan Yahudi dan Nashrani, karena Yahudi dan Nashrani beriman dengan sebahagian dari isi Al Kitab dan kafir dengan sebahagiannya, sedangkan mereka adalah orang-orang kafir yang sesungguhnya”

Dan berkaitan dengan jumlah dan tingkatan wali, dalam Kitab Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah ala Dhau il Kitab was Sunnah karangan Syaikh Sa’id al Qahthani halaman 411 , Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan ,“ Demikian juga semua hadits yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‚alaihi wa sallam tentang jumlah para wali , wali abdal , nuqaba‘, nujaba‘, autad , aqthab , dan jumlah mereka , empat atau tujuh , dua belas , empat puluh , tujuh puluh , atau tiga ratus , tiga belas , atau wali quthub yang hanya satu , semuanya tidak ada yang benar , tidak berasal dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan tidak pernah diucapkan oleh ulama salaf , kecuali lafal abdal dengan sanad yang terputus.“

2. Pandangan Imam Syafi’i tentang puji – pujian shufi.

Dalam Kitab Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah ala Dhau il Kitab was Sunnah halaman 401 Syaikh Sa’id al Qahthani menukil dari Kitab Fikrush Shufi karangan Syaikh Abdurrahman bin Abdul Khaliq bahwa Iman asy Syafi’i mengatakan , “ Aku meninggalkan kota Baghdad sementara di sana orang – orang zindiq membuat bid’ah yang mereka namakan Taghbir ( puji – pujian ) yang menghalangi manusia untuk membaca al Qur an. “

Dan dalam Kitab Talbis Iblis karangan Imam Ibnul Jauzi halaman 371 “Seandainya seseorang menjadi sufi pada pagi hari, maka siang sebelum dhuhur ia menjadi orang yang dungu.” Beliau juga pernah berkata: “ Seseorang yang menekuni tasawuf selama 40 hari, akal¬nya tidak bisa kembali normal selamanya.”


3. Pandangan Imam Ahmad.
Dalam Kitab Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah ala Dhau il Kitab was Sunnah halaman 401 Syaikh Sa’id al Qahthani menukil dari Kitab Thabaqatul Hanabilah , Imam Ahmad rahimahullah berpendapat senada dengan Imam asy Syafi’i. Ketika beliau ditanya tentang puji – pujian itu , beliau menjawab , “ Puji – pujian itu adalah bid’ah yang aku tidak suka.” Kemudian dikatakan kepada beliau , “ Puji – pujian itu membuat hati lembut.” Beliau memerintahkan , “ Kalian jangan duduk pada majlis mereka.” Beliau ditanya lagi , “ Apakah mereka dihajr ?” Beliau menjawab , “ Tidak sampai seperti itu.”
Kemudian dalam Kitab Talbis Iblis Syaikh Ibnul Jauzi pada halaman 193 mencontohkan suatu kasus, Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkomentar tentang diri Sary As-Saqathy, “Dia seorang syeikh yang dikenal karena suka menjamu makanan.” Kemudian ada yang mengabarinya bahwa as Saqathi berkata, tatkala Allah menciptakan huruf-huruf, maka huruf ba’ sujud kepada-Nya. Maka seketika itu pula Imam Ahmad berkata: “Jauhkanlah manusia darinya !”
4. Pendapat Syaikh Sa’id al Qahthani tentang asal - usul tashawwuf
Dalam Kitab Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah ala Dhau il Kitab was Sunnah halaman 383 Syaikh Sa’id al Qahthani menyebutkan , secara singkat bahwa tashawwuf bukan ajaran Islam , akan tetapi paham ini adalah percampuran dari tata cara ibadah orang – orang Persia , Yunani dan Nashrani . Buktinya adalah kenyataan bahwa ulama – ulama tashawwuf tumbuh di negeri Persia serta banyaknya kesamaan keyakinan dan tata cara ibadah antara pengikut tashawwuf dan penduduk Persia , khususnya keyakinan pada simbul yang diagungkan , lahir , batin , takwil dan lain – lain. Pendapat ini diperkuat oleh Abu Nashir as Siraaj dalam Kitab al Lam’u , menukil dari Kitab Wilayatullah wath Thariq Ilaihaa karangan Ibrahim Hilal , yang menyatakan bahwa tumbuhnya tashawwuf adalah pada masa jahiliyah sebelum Islam.
5. Syaikh Ihsan Ilahi Dhahir rahimahullah menulis:
Syaikh Ihsan Ilahi Dhahir, dalam Kitab At-Tashawwuf al-Mansya’ wal Mashadir halaman 27 beliau mengatakan ,“Ketika kita memperhatikan dengan teliti tentang ajaran sufi yang pertama dan terakhir, serta pendapat-pendapat yang dikutip dan diakui oleh mereka di dalam kitab-kitab sufi, baik yang lama maupun yang baru, maka kita akan melihat dengan jelas perbedaan yang jauh antara sufi dengan Al-Quran dan As-Sunnah. Begitu juga kita tidak melihat adanya bibit-bibit sufi di dalam perjalanan hidup Nabi saw dan para sahabat beliau, yang mereka itu adalah (sebaik-baik) pilihan Allah dari kalangan makhluk-Nya. Tetapi kita bisa melihat bahwa sufi diambil dari percikan kependetaan Nasrani, Brahmana (Hindu), Yahudi, dan kezuhudan Agama Budha.”
6. Dr. Shabir Tha’imah :
Dr Shobir Tho’imah, dalam Kitab Ash-Shufiyyah Mu’taqadan wa Masla¬kan mengatakan , “Jelas bahwa tasawwuf memiliki pengaruh dari kehidupan para pendeta Nasrani, mereka suka memakai pakaian dari bulu domba dan berdiam di biara-biara. Dan ini banyak sekali. Islam memutuskan kebiasaan ini ketika Islam membebaskan setiap negeri dengan tauhid.”

7. Pendapat Syaikh Al-Fauzan
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, dalam Kitab Hakikat Tasawwuf halaman 20 mengatakan, “Jelaslah bahwa sufi adalah ajaran dari luar yang menyusup ke dalam Islam. Hal itu tampak dari kebiasaan-kebiasaan yang dinisbatkan kepadanya. Sufi adalah suatu ajaran yang asing di dalam Islam dan jauh dari petunjuk Allah ‘Azza wa Jalla.
Yang dimaksud dengan kalangan sufi yang belakangan adalah mereka yang sudah banyak berisi dengan kebohongan. Adapun sufi yang dahulu, mereka masih berada di dalam keadaan netral, seperti Al-Fudhail bin ‘Iyadh, Al-Junaid, Ibrahim bin Adham dan lain-lain.”
8. Fatwa Lajnah Da imah
Fatwa Lajnah Daimah Li al-Buhuts Ilmiyyah wal al-Ifta Saudi Arabia mengenai Thariqah Shufi , tanggal 18 Jumadil Awal 1414H , No. Fatwa 16011 , memutuskan bahwa thariqah shufi, salah satunya Naqsyabandiyah, adalah aliran sesat dan bid’ah, menyeleweng dari Kitab dan Sunnah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَإِيَّاكُمْ وَالأُمُورَ الْمُحْدَثَاتِ ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.
Jauhilah oleh kalian perkara baru, karena sesuatu yang baru (di dalam agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.( HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi dan Hakim ).
Thariqah shufi tidak semata bid’ah. Bahkan, di dalamnya terdapat banyak kesesatan dan kesyirikan yang besar, hal ini dikarenakan mereka mengkultuskan syaikh / mursyid mereka dengan meminta berkah darinya, dan penyelewengan-penyelewengan lainnya bila dilihat dari Kitab dan Sunnah. Diantaranya, pernyataan-pernyataan kelompok sufi sebagaimana telah diungkap oleh penanya.
Semua itu adalah pernyataan yang batil dan tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah, sebab yang patut diterima perkataannya secara mutlak adalah perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana firman Allah :
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. ( QS. Al-Hasyr : 7 ).
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى
Dan tidaklah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya”. ( QS. An-Najm : 3 )
Adapun selain Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam, walau bagaimana tinggi ilmunya, perkataannya tidak bisa diterima kecuali kalau sesuai dengan Al-Kitab dan Sunnah. Adapun yang berpendapat wajib mentaati seseorang selain Rasul secara mutlak, hanya lantaran memandang “si dia/orang”nya, maka ia murtad (keluar dari Islam).
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Rabb selain Allah, dan (juga mereka menjadikan Rabb) Al-Masih putera Maryam ; padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa ; tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”. ( QS. At-Taubah : 31).
Ulama menafsirkan ayat ini, bahwa makna kalimat “menjadikan para rahib sebagai tuhan” ialah bila mereka menta’ati dalam menghalalkan apa yang diharamkan dan mengharamkan apa yang dihalalkan. Hal ini diriwayatkan dalam hadits Adi bin Hatim.
Maka wajiblah berhati-hati terhadap aliran sufi, baik dia laki-laki atau perempuan, demikianlah pula terhadap mereka yang berperan dalam pengajaran dan pendidikan, yang masuk ke dalam lembaga-lembaga. Hal ini agar tidak merusak aqidah kaum muslimin.
Lantas, diwajibkan pula kepada seorang suami untuk melarang orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya agar jangan masuk ke dalam lembaga-lembaga tersebut ataupun sekolah-sekolah yang mengajarkan ajaran sufi. Hal ini sebagai upaya memelihara aqidah serta keluarga dari perpecahan dan kebejatan para istri terhadap suaminya.
Barangsiapa yang merasa cukup dengan aliran sufi, maka ia lepas dari manhaj Ahlus Sunnah wa Jamaah, jika berkeyakinan bahwa syaikh sufi dapat memberikan berkah, atau dapat memberikan manfa’at dan madharat, menyembuhkan orang sakit, memberikan rezeki, menolak bahaya, atau berkeyakinan bahwa wajib menta’ati setiap yang dikatakan gurunya/syaikh, walaupun bertentangan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah.
Barangsiapa berkeyakinan dengan semuanya itu, maka dia telah berbuat syirik terhadap Allah dengan kesyirikan yang besar, dia keluar dari Islam, dilarang berloyalitas padanya dan menikah dengannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ ...... وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا
Dan janganlah kalian nikahi wanita-wanita musyrikah sebelum mereka beriman, ………. Dan janganlah kalian menikahkan (anak perempuan) dengan laki-laki musyrik sebelum mereka beriman ……..”. ( QS. Al-Baqarah : 221 ).
Wanita yang telah dilekati aliran sufi, akan tetapi belum sampai pada keyakinan yang telah kami sebutkan di atas, tetap tidak dianjurkan untuk menikahinya. Entah itu sebelum terjadi aqad ataupun setelahnya, kecuali bila setelah dinasehati dan bertaubat kepada Allah.
Yang kita nasehatkan adalah bertaubat kepada Allah, kembali kepada yang haq, meninggalkan aliran yang batil ini dan berhati-hati terhadap orang-orang yang menyeru kepada kejelekan-kejelekan. Hendaknya berpegang teguh dengan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah, membaca buku-buku bermanfa’at yang berisi tentang aqidah yang shahih, mendengarkan pelajaran, muhadharah dan acara-acara yang berfaedah yang dilakukan oleh ulama yang berpegang dengan teguh pada manhaj yang benar.
Juga kita nasehatkan kepada para istri agar taat kepada suami mereka dan orang-orang yang bertanggung jawab dalam hal-hal yang ma’ruf.
Semoga Allah memberikan taufiq-Nya.

Kamis, 17 Maret 2011

Membedah Tasawuf

SEJARAH DAN FITNAH TASAWWUF

Orang-orang sufi pada periode-periode pertama menetapkan untuk merujuk (kembali) kepada Al-Quran dan As-Sunnah, namun kemudian Iblis memperdayai mereka karena ilmu mereka yang sedikit sekali.

Ibnul Jauzi (wafat 597H) yang terkenal dengan bukunya Talbis Iblis menyebutkan contoh, Al-Junaid (tokoh sufi) berkata, “Madzhab kami ini terikat dengan dasar, yaitu Al-Kitab dan As-Sunnah.”

Dia (Al-Junaid) juga berkata, “Kami tidak mengambil tasawuf dari perkataan orang ini dan itu, tetapi dari rasa lapar, mening­galkan dunia, meninggalkan kebiasan sehari-hari dan hal-hal yang dianggap baik. Sebab tasawuf itu berasal dari kesucian mu’amalah (pergaulan) dengan Allah dan dasarnya adalah memisahkan diri dari dunia.”

Komentar Ibnul Jauzi, jika seperti ini yang dikatakan para syeikh mereka, maka dari syeikh-syeikh yang lain muncul banyak kesalahan dan penyimpangan, karena mereka menjauhkan diri dari ilmu.

Jika memang begitu keadaannya, lanjut Ibnul Jauzi, maka mereka harus disanggah, karena tidak perlu ada sikap manis muka dalam menegakkan kebenaran. Jika tidak benar, maka kita tetap harus waspada terhadap perkataan yang keluar dari golongan mereka.

Dicontohkan suatu kasus, Imam Ahmad bin Hanbal (780-855M) pernah berkata tentang diri Sary As-Saqathy, “Dia seorang syeikh yang dikenal karena suka menjamu makanan.” Kemudian ada yang mengabarinya bahwa dia berkata, bahwa tatkala Allah menciptakan huruf-huruf, maka huruf ba’ sujud kepada-Nya. Maka seketika itu pula Imam Ahmad berkata: “Jauhilah dia!” (Ibnul Jauzi, Talbis Iblis, Darul Fikri, 1368H, hal 168-169).

Kapan awal munculnya tasawuf

Tentang kapan awal munculnya tasawuf, Ibnul Jauzi mengemuka­kan, yang pasti, istilah sufi muncul sebelum tahun 200H. Ketika pertama kali muncul, banyak orang yang membicarakannya dengan berbagai ungkapan. Alhasil, tasawuf dalam pandangan mereka meru­pakan latihan jiwa dan usaha mencegah tabiat dari akhlak-akhlak yang hina lalu membawanya ke akhlak yang baik, hingga mendatangkan pujian di dunia dan pahala di akherat.

Begitulah yang terjadi pada diri orang-orang yang pertama kali memunculkannya. Lalu datang talbis Iblis (tipuan mencampur adukkan yang haq dengan yang batil hingga yang batil dianggap haq) terhadap mereka (orang sufi) dalam berbagai hal. Lalu Iblis memperdayai orang-orang setelah itu daripada pengikut mereka. Setiapkali lewat satu kurun waktu, maka ketamakan Iblis untuk memperdayai mereka semakin menjadi-jadi. Begitu seterusnya hingga mereka yang datang belakangan telah berada dalam talbis Iblis.

Talbis Iblis yang pertama kali terhadap mereka adalah mengha­langi mereka mencari ilmu. Ia menampakkan kepada mereka bahwa maksud ilmu adalah amal. Ketika pelita ilmu yang ada di dekat mereka dipadamkan, mereka pun menjadi linglung dalam kegelapan.

Di antara mereka ada yang diperdaya Iblis, bahwa maksud yang harus digapai adalah meninggalkan dunia secara total. Mereka pun menolak hal-hal yang mendatangkan kemaslahatan bagi badan, mereka menyerupakan harta dengan kalajengking, mereka berlebih-lebihan dalam membebani diri, bahkan di antara mereka ada yang sama sekali tidak mau menelentangkan badannya, terlebih lagi tidur.

Sebenarnya tujuan mereka itu bagus. Hanya saja mereka meniti jalan yang tidak benar dan diantara mereka ada yang karena minim­nya ilmu, lalu berbuat berdasarkan hadits-hadits maudhu` (palsu), sementara dia tidak mengetahuinya.

Syari’at dianggap ilmu lahir hingga aqidahnya rusak

Kemudian datang suatu golongan yang lebih banyak berbicara tentang rasa lapar, kemiskinan, bisikan-bisikan hati dan hal-hal yang melintas di dalam sanubari, lalu mereka membukukan hal-hal itu, seperti yang dilakukan Al-Harits Al-Muhasibi (meninggal 857M). Ada pula golongan lain yang mengikuti jalan tasawuf, menyendiri dengan ciri-ciri tertentu, seperti mengenakan pakaian tambal-tambalan, suka mendengarkan syair-syair, memukul rebana, tepuk tangan dan sangat berlebih-lebihan dalam masalah thaharahdan kebersihan. Masalah ini semakin lama semakin menjadi-jadi, karena para syaikh menciptakan topik-topik tertentu, berkata menurut pandangannya dan sepakat untuk menjauhkan diri dari ulama. Memang mereka masih tetap menggeluti ilmu, tetapi mereka menamakannya ilmu batin, dan mereka menyebut ilmu syari’at seba­gai ilmu dhahir. Karena rasa lapar yang mendera perut, mereka pun membuat khayalan-khayalan yang musykil, mereka menganggap rasa lapar itu sebagai suatu kenikmatan dan kebenaran. Mereka memba­yangkan sosok yang bagus rupanya, yang menjadi teman tidur mere­ka. Mereka itu berada di antara kufur dan bid’ah.

Kemudian muncul beberapa golongan lain yang mempunyai jalan sendiri-sendiri, dan akhirnya aqidah mereka jadi rusak. Di antara mereka ada yang berpendapat tentang adanya inkarnasi/hulul (penitisan) yaitu Allah menyusup ke dalam diri makhluk dan ada yang menyatakan Allah menyatu dengan makhluk/ ittihad. Iblis senantiasa menjerat mereka dengan berbagai macam bid’ah, sehingga mereka membuat sunnah tersendiri bagi mereka. (ibid, hal 164).

Perintis tasawuf tak diketahui pasti

Abdur Rahman Abdul Khaliq, dalam bukunya Al-Fikrus Shufi fi Dhauil Kitab was Sunnah menegaskan, tidak diketahui secara tepat siapa yang pertama kali menjadi sufi di kalangan ummat Islam. Imam Syafi’i ketika memasuki kota Mesir mengatakan, “Kami ting­galkan kota Baghdad sementara di sana kaum zindiq (menyeleweng; aliran yang tidak percaya kepada Tuhan, berasal dari Persia; orang yang menyelundup ke dalam Islam, berpura-pura –menurut Leksikon Islam, 2, hal 778) telah mengadakan sesuatu yang baru yang mereka namakan assama’ (nyanyian).

Kaum zindiq yang dimaksud Imam Syafi’i adalah orang-orang sufi. Dan assama’ yang dimaksudkan adalah nyanyian-nyanyian yang mereka dendangkan. Sebagaimana dimaklumi, Imam Syafi’i masuk Mesir tahun 199H.

Perkataan Imam Syafi’i ini mengisyaratkan bahwa masalah nyanyian merupakan masalah baru. Sedangkan kaum zindiq tampaknya sudah dikenal sebelum itu. Alasannya, Imam Syafi’i sering berbicara tentang mereka di antaranya beliau mengatakan:

“Seandainya seseorang menjadi sufi pada pagi hari, maka siang sebelum dhuhur ia menjadi orang yang dungu.”

Dia (Imam Syafi’i) juga pernah berkata: “Tidaklah seseorang menekuni tasawuf selama 40 hari, lalu akal­nya (masih bisa) kembali normal selamanya.” (Lihat Talbis Iblis, hal 371).

Semua ini, menurut Abdur Rahman Abdul Khaliq, menunjukkan bahwa sebelum berakhirnya abad kedua Hijriyah terdapat satu kelompok yang di kalangan ulama Islam dikenal dengan sebutan Zanadiqoh (kaum zindiq), dan terkadang dengan sebutan mutashawwi­fah (kaum sufi).

Imam Ahmad (780-855M) hidup sezaman dengan Imam Syafi’i (767-820M), dan pada mulanya berguru kepada Imam Syafi’i. Perkataan Imam Ahmad tentang keharusan menjauhi orang-orang tertentu yang berada dalam lingkaran tasawuf, banyak dikutip orang. Di antara­nya ketika seseorang datang kepadanya sambil meminta fatwa ten­tang perkataan Al-Harits Al-Muhasibi (tokoh sufi, meninggal 857M). Lalu Imam Ahmad bin Hanbal berkata:

“Aku nasihatkan kepadamu, janganlah duduk bersama mereka (duduk dalam majlis Al-Harits Al-Muhasibi)”.

Imam Ahmad memberi nasihat seperti itu karena beliau telah melihat majlis Al-Harits Al-Muhasibi. Dalam majlis itu para peserta duduk dan menangis –menurut mereka– untuk mengoreksi diri. Mereka berbicara atas dasar bisikan hati yang jahat. (Perlu kita cermati, kini ada kalangan-kalangan muda yang mengadakan daurah/penataran atau halaqah /pengajian, lalu mengadakan muhasabatun nafsi/ mengoreksi diri, atau mengadakan apa yang mereka sebut renungan, dan mereka menangis tersedu-sedu, bahkan ada yang meraung-raung. Apakah perbuatan mereka itu ada dalam sunnah Rasulullah saw? Ataukah memang mengikuti kaum sufi itu?).

Abad III H Sufi mulai berani, semua tokohnya dari Parsi

Tampaknya, Imam Ahmad bin Hanbal radhiyallahu`anhu mengucapkan perkataan tersebut pada awal abad ketiga Hijriyah. Namun sebelum abad ketiga berakhir, tasawuf telah muncul dalam hakikat yang sebenarnya, kemudian tersebar luas di tengah-tengah umat, dan kaum sufi telah berani mengatakan sesuatu yang sebelumnya mereka sembunyikan.

Jika kita meneliti gerakan sufisme sejak awal perkembangannya hingga kemunculan secara terang-terangan, kita akan mengetahui­ bahwa seluruh tokoh pemikiran sufi pada abad ketiga dan keempat Hijriyah berasal dari Parsi (kini namanya Iran, dulu pusat agama Majusi, kemusyrikan yang menyembah api, kemudian menjadi pusat Agama Syi’ah), tidak ada yang berasal dari Arab.

Sesungguhnya tasawuf mencapai puncaknya, dari segi aqidah dan hukum, pada akhir abad ketiga Hijriyah, yaitu tatakla Husain bin Manshur Al-Hallaj berani menyatakan keyakinannya di depan pengua­sa, yakni dia menyatakan bahwa Allah menyatu dengan dirinya, sehingga para ulama yang semasa dengannya menyatakan bahwa dia telah kafir dan harus dibunuh.

Pada tahun 309H/ 922M ekskusi (hukuman bunuh) terhadap Husain bin Manshur Al-Hallaj dilaksanakan. Meskipun demikian, sufisme tetap menyebar di negeri Parsi, bahkan kemudian berkembang di Irak.

Abad keempat mulai muncul thariqat/ tarekat

Tersebarnya sufisme didukung oleh Abu Sa`id Al-Muhani. Ia mendirikan tempat-tempat penginapan yang dikelola secara khusus yang selanjutnya ia ubah menjadi markas sufisme. Cara penyebaran sufisme seperti itu diikuti oleh para tokoh Sufi lainnya sehingga pada pertengahan abad keempat Hijriyah berkembanglah cikal bakal thariqat/ tarekat sufiyah, kemudian secara cepat tersebar di Irak, Mesir, dan Maghrib (Maroko).

Pada abad keenam Hijriyah muncul beberapa tokoh tasawuf, mas­ing-masing mengaku bahwa dirinya keturunan Rasulullah SAW, kemud­ian mendirikan tempat thariqat sufiyah dengan pengikutnya yang tertentu. Di Irak muncul thariqat sufiyah Ar-Rifa`i (Rifa’iyah); di Mesir muncul Al-Badawi, yang tidak diketahui siapa ibunya, siapa bapaknya, dan siapa keluarganya; demikian juga Asy-Syadzali

(Syadzaliyah/ Syadziliyah) yang muncul di Mesir. Dari thariqat-thariqat tersebut muncul banyak cabang thariqat sufiyah.

Abad ke-6,7, & 8 puncak fitnah shufi

Pada abad keenam, ketujuh, dan kedelapan Hijriyah fitnah sufisme mencapai puncaknya. Kaum Sufi mendirikan kelompok-kelompok khusus, kemudian di berbagai tempat dibangun kubah-kubah di atas kuburan. Semua itu terjadi setelah tegaknya Daulah Fathi­miyah (kebatinan) di Mesir, dan setelah perluasan kekuasaan ke wilayah-wilayah dunia Islam. Lalu, kuburan-kuburan palsu muncul, seperti kuburan Husain bin Ali radliyallahu `anhuma di Mesir, dan kuburan Sayyidah Zainab. Setelah itu, mereka mengadakan peringatan maulid Nabi, mereka melakukan bid`ah-bid`ah dan khufarat-khufarat. Pada akhirnya mereka meng-ilahkan (menuhankan) Al-Hakim Bi-Amrillah Al-Fathimi Al-Abidi.

Propaganda yang dilakukan oleh Daulah Fathimiyah tersebut berawal dari Maghrib (Maroko), mereka menggatikan kekuasaan Abbasiyah yang Sunni. Daulah Fathimiyah berhasil menggerakkan kelompok Sufi untuk memerangi dunia Islam. Pasukan-pasukan kebat­inan tersebut kemudian menjadi penyebab utama berkuasanya pasukan salib (Kristen Eropa) di wilayah-wilayah Islam.

Pada abad kesembilan, kesepuluh, dan kesebelas Hijriyah, telah muncul berpuluh-puluh thariqat sufiyah, kemudian aqidah dan syari`at Sufi tersebar di tengah-tengah umat. Keadaan yang merata berlanjut sampai masa kebangkitan Islam baru.

Ibnu Taimiyyah dan murid-muridnya memerangi shufi

Sesungguhnya kebangkitan Islam sudah mulai tampak pada akhir abad ketujuh dan awal abad kedelapan Hijriyah, yaitu tatkala Imam Mujahid Ahmad bin Abdul-Hakim Ibnu Taimiyyah (1263-1328M) meme­rangi seluruh aqidah yang menyimpang melalui pena dan lisannya, di antara yang diperangi adalah aqidah kaum Sufi.

Setelah itu, perjuangan beliau dilanjutkan oleh murid-muridnya, seperti Ibnul-Qayyim (Damaskus 1292-1350M), Ibnu-Katsir (wafat 774H), Al-Hafizh Adz-Dzahabi, dan Ibnu Abdil-Hadi.

Meskipun mendapat serangan, tasawuf, dan aqidah-aqidah batil terus mengakar, hingga berhasil menguasai umat. Namun, pada abad kedua belas hijriyah Allah mempersiapkan Imam Muhammad bin Abdul-Wahhab untuk umat Islam. Ia mempelajari buku-buku Syaikh Ibnu Taimiyyah, kemudian bangkit memberantas dan memerangi kebatilan. Dengan sebab upaya beliau, Allah merealisasikan kemunculan ke­bangkitan Islam baru.

Da`wah Muhammad bin Abdul-Wahhab disambut oleh orang-orang mukhlis di seluruh penjuru dunia Islam. Namun, daulah sufisme tetap memiliki kekuatan di berbagai wilayah dunia Islam, dan simbol-simbol tasawuf masih tetap ada. Simbol-simbol tasawuf yang dimaksudkan adalah kuburan-kuburan, syaikh-syaikh atau guru-guru sesat, dan aqidah-aqidah yang rusak dan batil (lihat: Al-Fikrush-Shufi fi Dhau`il-Kitab was Sunnah,oleh Abdur-Rahman Abdul-Khaliq, halaman 49-53, dikutip Laila binti Abdillah dalam As-Shufiyyah `Aqidah wa Ahdaf, Darul Wathan Riyad, I, 1410H, hal 13-17).

Senin, 14 Maret 2011

NIKMAT DUNIA : setetes air di tengah samudra

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Kelezatan mengikuti rasa cinta. Ia akan menguat mengikuti menguatnya cinta dan melemah pula seiring dengan melemahnya cinta. Setiap kali keinginan terhadap al-mahbub (sosok yang dicintai) serta kerinduan kepadanya menguat maka semakin sempurna pula kelezatan yang akan dirasakan tatkala sampai kepada tujuannya tersebut. Sementara rasa cinta dan kerinduan itu sangat tergantung kepada ma’rifah/pengenalan dan ilmu tentang sosok yang dicintai. Setiap kali ilmu yang dimiliki tentangnya bertambah sempurna maka niscaya kecintaan kepadanya pun semakin sempurna. Apabila kenikmatan yang sempurna di akherat serta kelezatan yang sempurna berporos kepada ilmu dan kecintaan, maka itu artinya barangsiapa yang lebih dalam pengenalannya dalam beriman kepada Allah, nama-nama, sifat-sifat-Nya serta -betul-betul meyakini- agama-Nya niscaya kelezatan yang akan dia rasakan tatkala berjumpa, bercengkerama, memandang wajah-Nya dan mendengar ucapan-ucapan-Nya juga semakin sempurna. Adapun segala kelezatan, kenikmatan, kegembiraan, dan kesenangan -duniawi yang dirasakan oleh manusia- apabila dibandingkan dengan itu semua laksana setetes air di tengah-tengah samudera. Oleh sebab itu, bagaimana mungkin orang yang berakal lebih mengutamakan kelezatan yang amat sedikit dan sebentar bahkan tercampur dengan berbagai rasa sakit di atas kelezatan yang maha agung, terus-menerus dan abadi. Kesempurnaan seorang hamba sangat tergantung pada dua buah kekuatan ini; kekuatan ilmu dan rasa cinta. Ilmu yang paling utama adalah ilmu tentang Allah, sedangkan kecintaan yang paling tinggi adalah kecintaan kepada-Nya. Sementara itu kelezatan yang paling sempurna akan bisa digapai berbanding lurus dengan dua hal ini [ilmu dan cinta], Allahul musta’aan.” (al-Fawa’id, hal. 52)

Dari ucapan beliau ini, kita dapat mengetahui betapa besar peran ilmu tentang Allah dalam membentuk jati diri seorang muslim. Karena seorang muslim yang ideal adalah yang senantiasa mendahulukan kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya di atas segalanya. Sosok muslim seperti itulah yang dikabarkan akan bisa mengecap manisnya iman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga perkara, barangsiapa memilikinya maka dia akan merasakan manisnya iman…” Di antaranya, “Allah dan rasul-Nya lebih dicintainya daripada segala sesuatu selain keduanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Para ulama menafsirkan bahwa yang dimaksud lezatnya iman ini antara lain adalah berupa kenikmatan yang dirasakan ketika menjalani ketaatan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menggambarkan bahwa sosok manusia yang mampu mencapat derajat manisnya iman ini adalah orang yang di dalam hatinya tidak menyimpan perasaan tidak suka dan benci kepada agama yang suci ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan bisa merasakan lezatnya iman orang-orang yang ridha kepada Rabbnya, ridha Islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim).

Ketiga hal inilah -sebagaimana diungkapkan oleh Syaikh Ibrahim ar-Ruhaili hafizhahullah- merupakan pokok-pokok ajaran agama. Ini artinya, bangunan agama yang ada pada diri seseorang akan menjadi kuat atau lemah tergantung kepada ilmu tentang ketiganya; mengenal Allah, mengenal agama Islam dan mengenal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka wajarlah, apabila Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah kemudian menulis sebuah risalah kecil ‘Tsalatsatul Ushul’ untuk mengenalkan pokok-pokok yang agung ini kepada segenap kaum muslimin.

Hal ini menunjukkan kepada kita bagaimana para ulama salaf sedemikian mengenal karakter jiwa dan perangai manusia. Mereka itu -sebagaimana digambarkan oleh Imam Ahmad di dalam mukadimah kitabnya ar-Radd ‘alal Jahmiyah dan dinukil oleh Syaikh Shalih al-Fauzan dalam Kitab Tauhidnya- merupakan sosok ‘pahlawan’ yang telah menghidupkan hati-hati manusia yang telah binasa dan terjajah oleh Iblis melalui ayat-ayat Kitabullah yang mereka baca dan mereka terangkan isinya kepada umat manusia. Sehingga hati manusia yang sebelumnya gersang, tandus dan kering kerontang pun tersirami dengan tetes demi tetes bimbingan wahyu ilahi sehingga memunculkan tanda-tanda kehidupan kembali …

Kian Berisi , Kian Merunduk

“Salah satu tanda kebahagiaan dan kesuksesan adalah tatkala seorang hamba semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambah pula sikap tawadhu’ dan kasih sayangnya. Dan semakin bertambah amalnya maka semakin meningkat pula rasa takut dan waspadanya. Setiap kali bertambah usianya maka semakin berkuranglah ketamakan nafsunya. Setiap kali bertambah hartanya maka bertambahlah kedermawanan dan kemauannya untuk membantu sesama. Dan setiap kali bertambah tinggi kedudukan dan posisinya maka semakin dekat pula dia dengan manusia dan berusaha untuk menunaikan berbagai kebutuhan mereka serta bersikap rendah hati kepada mereka.”

Beliau melanjutkan,

“Dan tanda kebinasaan yaitu tatkala semakin bertambah ilmunya maka bertambahlah kesombongan dan kecongkakannya. Dan setiap kali bertambah amalnya maka bertambahlah keangkuhannya, dia semakin meremehkan manusia dan terlalu bersangka baik kepada dirinya sendiri. Semakin bertambah umurnya maka bertambahlah ketamakannya. Setiap kali bertambah banyak hartanya maka dia semakin pelit dan tidak mau membantu sesama. Dan setiap kali meningkat kedudukan dan derajatnya maka bertambahlah kesombongan dan kecongkakan dirinya. Ini semua adalah ujian dan cobaan dari Allah untuk menguji hamba-hamba-Nya. Sehingga akan berbahagialah sebagian kelompok, dan sebagian kelompok yang lain akan binasa. Begitu pula halnya dengan kemuliaan-kemuliaan yang ada seperti kekuasaan, pemerintahan, dan harta benda. Allah ta’ala menceritakan ucapan Sulaiman tatkala melihat singgasana Ratu Balqis sudah berada di sisinya (yang artinya), “Ini adalah karunia dari Rabb-ku untuk menguji diriku. Apakah aku bisa bersyukur ataukah justru kufur.” (QS. An Naml : 40).”

Kembali beliau memaparkan,

“Maka pada hakekatnya berbagai kenikmatan itu adalah cobaan dan ujian dari Allah yang dengan hal itu akan tampak bukti syukur orang yang pandai berterima kasih dengan bukti kekufuran dari orang yang suka mengingkari nikmat. Sebagaimana halnya berbagai bentuk musibah juga menjadi cobaan yang ditimpakan dari-Nya Yang Maha Suci. Itu artinya Allah menguji dengan berbagai bentuk kenikmatan, sebagaimana Allah juga menguji manusia dengan berbagai musibah yang menimpanya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Adapun manusia, apabila Rabbnya mengujinya dengan memuliakan kedudukannya dan mencurahkan nikmat (dunia) kepadanya maka dia pun mengatakan, ‘Rabbku telah memuliakan diriku.’ Dan apabila Rabbnya mengujinya dengan menyempitkan rezkinya ia pun berkata, ‘Rabbku telah menghinakan aku.’ Sekali-kali bukanlah demikian…” (QS. Al Fajr : 15-17). Artinya tidaklah setiap orang yang Aku lapangkan (rezkinya) dan Aku muliakan kedudukan (dunia)-nya serta Kucurahkan nikmat (duniawi) kepadanya adalah pasti orang yang Aku muliakan di sisi-Ku. Dan tidaklah setiap orang yang Aku sempitkan rezkinya dan Aku timpakan musibah kepadanya itu berarti Aku menghinakan dirinya.” (Al Fawa’id, hal. 149).

Kamis, 03 Maret 2011

Metode Pendidikan Rasulullah SAW

A. Pendahuluan
Keberhasilan menanamkan nilai-nilai rohaniah (keimanan dan ketakwaan pada Allah swt.) dalam diri peserta didik, terkait dengan satu faktor dari sistem pendidikan, yaitu metode pendidikan yang dipergunakan pendidik dalam menyampaikan pesan-pesan ilahiyah, sebab dengan metode yang tepat, materi pelajaran akan dengan mudah dikuasai peserta didik. Dalam pendidikan Islam, perlu dipergunakan metode pendidikan yang dapat melakukan pendekatan menyeluruh terhadap manusia, meliputi dimensi jasmani dan rohani (lahiriah dan batiniah), walaupun tidak ada satu jenis metode pendidikan yang paling sesuai mencapai tujuan dengan semua keadaan.


Sebaik apapun tujuan pendidikan, jika tidak didukung oleh metode yang tepat, tujuan tersebut sangat sulit untuk dapat tercapai dengan baik. Sebuah metode akan mempengaruhi sampai tidaknya suatu informasi secara lengkap atau tidak. Bahkan sering disebutkan cara atau metode kadang lebih penting daripada materi itu sendiri. Oleh sebab itu pemilihan metode pendidikan harus dilakukan secara cermat, disesuaikan dengan berbagai faktor terkait, sehingga hasil pendidikan dapat memuaskan. (Anwar, 2003: 42)


Rasul saw. sejak awal sudah mencontohkan dalam mengimplementasikan metode pendidikan yang tepat terhadap para sahabatnya. Strategi pembelajaran yang beliau lakukan sangat akurat dalam menyampaikan ajaran Islam. Rasul saw. sangat memperhatikan situasi, kondisi dan karakter seseorang, sehingga nilai-nilai Islami dapat ditransfer dengan baik. Rasulullah saw. juga sangat memahami naluri dan kondisi setiap orang, sehingga beliau mampu menjadikan mereka suka cita, baik meterial maupun spiritual, beliau senantiasa mengajak orang untuk mendekati Allah swt. dan syari’at-Nya.
Makalah ini akan menyajikan hadis-hadis Nabi saw. tentang metode pendidikan dalam lingkup makro dan mikro, yang dilaksanakan Rasulullah. Hadis-hadis yang berimplikasikan pada metode pendidikan dalam lingkup makro, meliputi; metode keteladanan, metode lemah lembut/kasih sayang, metode deduktif, metode perumpamaan, metode kiasan, metode memberi kemudahan, metode perbandingan. Metode pendidikan dalam lingkup mikro terdiri dari; metode tanya jawab, metode pengulangan, metode demonstrasi, metode eksperimen, metode pemecahan masalah, metode diskusi, metode pujian/memberi kegembiraan, metode pemberian hukuman.


B. Pembahasan


1. Pengertian Metode Pendidikan.
Satu dari berbagai komponen penting untuk mencapai tujuan pendidikan adalah ketepatan menentukan metode. Sebab dengan metode yang tepat, materi pendidikan dapat diterima dengan baik. Metode diibaratkan sebagai alat yang dapat digunakan dalam suatu proses pencapaian tujuan. Tanpa metode, suatu materi pelajaran tidak akan dapat berproses secara efektif dan efisien dalam kegiatan pembelajaran menuju tujuan pendidikan.
Secara etimologi kata metode berasal dari bahasa Yunani yaitu meta yang berarti ”yang dilalui” dan hodos yang berarti ”jalan”, yakni jalan yang harus dilalui. Jadi secara harfiah metode adalah cara yang tepat untuk melakukan sesuatu.(Poerwakatja, 1982: 56). Sedangkan dalam bahasa Inggeris, disebut dengan method yang mengandung makna metode dalam bahasa Indonesia.(Wojowasito, 1980:113). Dalam bahasa Arab, metode disebut dengan tharīqah yang berarti jalan atau cara.(Louwis, t.t.: 465). Demikian pula menurut Yunus, tharīqah adalah perjalanan hidup, hal, mazhab dan metode.(Munawwir, 1997: 849). Secara terminologi, para ahli memberikan definisi yang beragam tentang metode, di antaranya pengertian yang dikemukakan Surakhmad (1998: 96), bahwa metode adalah cara yang di dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai tujuan. Menurut Yusuf (1995: 2), metodologi adalah ilmu yang mengkaji atau membahas tentang bermacam-macam metode mengajar, keunggulannya, kelemahannya, kesesuaian dengan bahan pelajaran dan bagaimana penggunaannya. Poerwakatja (1982: 386), mengemukakan; metode pembelajaran berarti jalan ke arah suatu tujuan yang mengatur secara praktis bahan pelajaran, cara mengajarkannya dan cara mengelolanya.
Berdasarkan definisi yang dikemukakan para ahli mengenai pengertian metode pendidikan, beberapa hal yang mesti ada dalam metode yaitu:
a. Melaksanakan aktivitas pembelajaran dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab;
b. Aktivitas tersebut memiliki cara yang baik dan tujuan tertentu;
c. Tujuan harus dicapai secara efektif.
Ada istilah lain dalam pendidikan yang mengandung makna berdekatan dengan metode, yaitu pendekatan dan teknik/strategi, sebagai berikut:
a. Pendekatan (al-madkhal/approach).
Pendekatan yaitu sekumpulan pemahaman mengenai bahan pelajaran yang mengandung prinsip-prinsip filosofis. Jadi pendekatan merupakan kebenaran umum yang bersifat mutlak. Misalkan asumsi yang berhubungan dengan pembelajaran bahasa, bahwa aspek menyimak dan percakapan harus diajarkan terlebih dahulu sebelum aspek membaca dan menulis atau sebaliknya, sehingga dari asumsi tersebut pendidik dapat menentukan metode yang tepat.(Sumardi, t.t: 91-94).
b. Teknik/strategi.
Teknik penyajian bahan pelajaran adalah penyajian yang dikuasai pendidik dalam mengajar atau menyajikan bahan pelajaran kepada peserta didik di dalam kelas, agar bahan pelajaran dapat dipahami dan digunakan dengan baik. Teknik adalah pelaksanaan pengajaran di dalam kelas, yaitu penggunaan metode yang didasarkan atas pendekatan terhadap materi pelajaran. Jadi teknik harus sejalan dengan metode dan pendekatan. Misalkan dalam mengatasi masalah peserta didik yang tidak dapat menyebutkan bunyi suatu huruf dengan tepat, pendidik memintakan peserta didik untuk menirukan ucapannya.


c. Metode.
Metode adalah rencana menyeluruh yang berkenaan dengan penyajian bahan/materi pelajaran secara sistematis dan metodologis serta didasarkan atas suatu pendekatan, sehingga perbedaan pendekatan mengakibatkan perbedaan penggunaan metode. Jika metode tersebut dikaitkan dengan pendidikan Islam, dapat membawa arti metode sebagai jalan pembinaan pengetahuan, sikap dan tingkah laku sehingga terlihat dalam pribadi subjek dan obyek pendidikan, yaitu pribadi Islami. Selain itu, metode dapat membawa arti sebagai cara untuk memahami, menggali dan mengembangkan ajaran Islam, sehingga terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.(Nata, 2001: 91).
Metode, merupakan alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan pendidikan. Alat ini mempunyai dua fungsi ganda, yaitu polipragmatis dan monopragmatis. Polipragmatis, bilamana metode mengandung kegunaan yang serba ganda, misalnya suatu metode tertentu pada suatu situasi kondisi tertentu dapat digunakan membangun dan memperbaiki. Kegunaannya dapat tergantung pada si pemakai atau pada corak, bentuk dan kemampuan dari metode sebagai alat. Sebaliknya monopragmatis, bilamana metode mengandung satu macam kegunaan untuk satu macam tujuan. Penggunaannya mengandung implikasi bersifat konsisten, sistematis dan kebermaknaan menurut kondisi sasarannya. Mengingat sasaran metode adalah manusia, maka pendidik dituntut untuk berhati-hati dalam penerapannya.
Metode pendidikan yang tidak tepat guna akan menjadi penghalang kelancaran jalannya proses pembelajaran, sehingga banyak tenaga dan waktu terbuang sia-sia. Oleh karena itu, metode yang diterapkan oleh seorang guru baru berdaya guna dan berhasil guna, jika mampu dipergunakan untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan. Dalam pendidikan Islam, metode yang tepat guna adalah metode yang mengandung nilai nilai instrinsik dan ekstrinsik, sejalan dengan materi pelajaran dan secara fungsional dapat dipakai untuk merealisasikan nilai-nilai ideal yang terkandung dalam tujuan pendidikan Islam. (Arifin, 1996: 197). Nahlawi (1996: 204), mengatakan metode pendidikan Islam adalah metode dialog, metode kisah Qur’ani dan Nabawi, metode perumpamaan Qur’ani dan Nabawi, metode keteladanan, metode aplikasi dan pengamalan, metode ibrah dan nasihat serta metode tarģîb dan tarhîb.
Berdasarkan rumusan-rumusan di atas, dapat dipahami bahwa metode pendidikan Islam adalah berbagai cara yang digunakan oleh pendidik muslim, sebagai jalan pembinaan pengetahuan, sikap dan tingkah laku, sehingga nilai-nilai Islami dapat terlihat dalam pribadi peserta didik (subjek dan obyek pendidikan).


2. Hadis-hadis Tentang Metode Pendidikan dalam Lingkup Makro
a. Metode Keteladanan.
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ عَامِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَمْرِو بْنِ سُلَيْمٍ الزُّرَقِيِّ عَنْ أَبِي قَتَادَةَ الْأَنْصَارِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي وَهُوَ حَامِلٌ أُمَامَةَ بِنْتَ زَيْنَبَ بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلِأَبِي الْعَاصِ بْنِ رَبِيعَةَ بْنِ عَبْدِ شَمْسٍ فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَهَا وَإِذَا قَامَ حَمَلَهَا.
Artinya: Hadis dari Abdullah ibn Yusuf, katanya Malik memberitakan pada kami dari Amir ibn Abdullah ibn Zabair dari ‘Amar ibn Sulmi az-Zarâqi dari Abi Qatadah al-Anshâri, bahwa Rasulullah saw. salat sambil membawa Umâmah binti Zainab binti Rasulullah saw. dari (pernikahannya) dengan Abu al-Ash ibn Rabi’ah ibn Abdu Syams. Bila sujud, beliau menaruhnya dan bila berdiri beliau menggendongnya. (al-Bukhari, 1987, I: 193)


Hadis di atas tergolong syarîf marfû’ dengan kualitas perawi yang sebagian terdiri dari şiqah mutqinũn, ra’su mutqinũn, şiqah dan perawi bernama Qatadah adalah sahabat Rasulullah saw. (CD Room, Kutub at-Tis’ah).
Menurut al-Asqalâni, ketika itu orang-orang Arab sangat membenci anak perempuan. Rasulullah saw. memberitahukan pada mereka tentang kemuliaan kedudukan anak perempuan. Rasulullah saw. memberitahukannya dengan tindakan, yaitu dengan menggendong Umamah (cucu Rasulullah saw.) di pundaknya ketika salat. Makna yang dapat dipahami bahwa perilaku tersebut dilakukan Rasulullah saw. untuk menentang kebiasaan orang Arab yang membenci anak perempuan. Rasulullah saw. menyelisihi kebiasaan mereka, bahkan dalam salat sekalipun. (Al-Asqalani, 1379H: 591-592). Hamd, mengatakan bahwa pendidik itu besar di mata anak didiknya, apa yang dilihat dari gurunya akan ditirunya, karena anak didik akan meniru dan meneladani apa yang dilihat dari gurunya, maka wajiblah guru memberikan teladan yang baik. (al-Hamd, 2002: 27).
Memperhatikan kutipan di atas dapat dipahami bahwa keteladanan mempunyai arti penting dalam mendidik, keteladanan menjadi titik sentral dalam mendidik, kalau pendidiknya baik, ada kemungkinan anak didiknya juga baik, karena murid meniru gurunya. Sebaliknya jika guru berperangai buruk, ada kemungkinan anak didiknya juga berperangai buruk.
Rasulullah saw. merepresentasikan dan mengekspresikan apa yang ingin diajarkan melalui tindakannya dan kemudian menerjemahkan tindakannya ke dalam kata-kata. Bagaimana memuja Allah swt., bagaimana bersikap sederhana, bagaimana duduk dalam salat dan do’a, bagaimana makan, bagaimana tertawa, dan lain sebagainya, menjadi acuan bagi para sahabat, sekaligus merupakan materi pendidikan yang tidak langsung.
Mendidik dengan contoh (keteladanan) adalah satu metode pembelajaran yang dianggap besar pengaruhnya. Segala yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. dalam kehidupannya, merupakan cerminan kandungan Alquran secara utuh, sebagaimana firman Allah swt. berikut:
لقد كان لكم في رسول الله أسوة حسنة لمن كان يرجو الله واليوم الآخر وذكر الله كثيرا.
Artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. 33: 21).


Al-Baidhawi (Juz 5: 9), memberi makna uswatun hasanah pada ayat di atas adalah perbuatan baik yang dapat dicontoh. Dengan demikian, keteladanan menjadi penting dalam pendidikan, keteladanan akan menjadi metode yang ampuh dalam membina perkembangan anak didik. Keteladanan sempurna, adalah keteladanan Rasulullah saw., yang dapat menjadi acuan bagi pendidik sebagai teladan utama, sehingga diharapkan anak didik mempunyai figur pendidik yang dapat dijadikan panutan.
Dengan demikian, keteladanan menjadi penting dalam pendidikan, keteladanan akan menjadi metode yang ampuh dalam membina perkembangan anak didik. Keteladanan sempurna, adalah keteladanan Rasulullah saw., yang dapat menjadi acuan bagi pendidik sebagai teladan utama, sehingga diharapkan anak didik mempunyai figur pendidik yang dapat dijadikan panutan.


b. Metode lemah lembut/kasih sayang.
حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَتَقَارَبَا فِي لَفْظِ الْحَدِيثِ قَالَ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ حَجَّاجٍ الصَّوَّافِ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ هِلَالِ بْنِ أَبِي مَيْمُونَةَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ الْحَكَمِ السُّلَمِيِّ قَالَ بَيْنَا أَنَا أُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ عَطَسَ رَجُلٌ مِنْ الْقَوْمِ فَقُلْتُ يَرْحَمُكَ اللَّهُ فَرَمَانِي الْقَوْمُ بِأَبْصَارِهِمْ فَقُلْتُ وَا ثُكْلَ أُمِّيَاهْ مَا شَأْنُكُمْ تَنْظُرُونَ إِلَيَّ فَجَعَلُوا يَضْرِبُونَ بِأَيْدِيهِمْ عَلَى أَفْخَاذِهِمْ فَلَمَّا رَأَيْتُهُمْ يُصَمِّتُونَنِي لَكِنِّي سَكَتُّ فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبِأَبِي هُوَ وَأُمِّي مَا رَأَيْتُ مُعَلِّمًا قَبْلَهُ وَلَا بَعْدَهُ أَحْسَنَ تَعْلِيمًا مِنْهُ فَوَاللَّهِ مَا كَهَرَنِي وَلَا ضَرَبَنِي وَلَا شَتَمَنِي قَالَ إِنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ….


Artinya: Hadis dari Abu Ja’far Muhammad ibn Shabah dan Abu Bakr ibn Abi Syaibah, hadis Ismail ibn Ibrahim dari Hajjâj as-Shawwâf dari Yahya ibn Abi Kaşir dari Hilâl ibn Abi Maimũnah dari ‘Atha’ ibn Yasâr dari Mu’awiyah ibn Hakam as-Silmiy, Katanya: Ketika saya salat bersama Rasulullah saw., seorang dari jama’ah bersin maka aku katakan yarhamukallâh. Orang-orang mencela saya dengan pandangan mereka, saya berkata: Celaka, kenapa kalian memandangiku? Mereka memukul paha dengan tangan mereka, ketika saya memandang mereka, mereka menyuruh saya diam dan saya diam. Setelah Rasul saw. selesai salat (aku bersumpah) demi Ayah dan Ibuku (sebagai tebusannya), saya tidak pernah melihat guru sebelumnya dan sesudahnya yang lebih baik pengajarannya daripada beliau. Demi Allah beliau tidak membentak, memukul dan mencela saya. Rasulullah saw. (hanya) bersabda: Sesungguhnya salat ini tidak boleh di dalamnya sesuatu dari pembicaraan manusia. Ia hanya tasbîh, takbîr dan membaca Alquran. (Muslim, t.t, I: 381).


Hadis di atas tergolong syarîf marfũ’ dengan kualitas perawi yang sebagian tergolong şiqah dan şiqah şubut. An-Nawâwi, dalam syarahnya mengatakan hadis ini menunjukkan keagungan perangai Rasulullah saw., dengan memiliki sikap lemah lembut dan mengasihi orang yang bodoh (belum mengetahui tata cara salat). Ini juga perintah agar pendidik berperilaku sebagaimana Rasulullah saw. dalam mendidik.(an-Nawawi, 1401H, V: 20-21).
Pentingnya metode lemah lembut dalam pendidikan, karena materi pelajaran yang disampaikan pendidik dapat membentuk kepribadian peserta didik. Dengan sikap lemah lembut yang ditampilkan pendidik, peserta didik akan terdorong untuk akrab dengan pendidik dalam upaya pembentukan kepribadian.


c. Metode deduktif.


حَدَََّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ بُنْدَارٌ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي خُبَيْبُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ حَفْصِ بْنِ عَاصِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ الْإِمَامُ الْعَادِلُ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ أَخْفَى حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ.
Artinya: Hadis Muhammad ibn Basysyar ibn Dar, katanya hadis Yahya dari Abdullah katanya hadis dari Khubâib ibn Abdurrahman dari Hafs ibn ‘Aśim dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw.bersabda: Tujuh orang yang akan dinaungi oleh Allah di naungan-Nya yang tidak ada naungan kecuali naungan Allah; pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh dalam keadaan taat kepada Allah; seorang yang hatinya terikat dengan mesjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah (mereka bertemu dan berpisah karena Allah), seorang yang diajak oleh wanita terpandang dan cantik namun ia berkata ’saya takut kepada Allah’, seorang yang menyembunyikan sadekahnya sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan kanannya dan orang yang mengingat Allah dalam kesendirian hingga air matanya mengalir. (al-Bukhari, t.t, I: 234).


Hadis di atas tergolong syarîf marfu’ dengan kualitas perawi yang sebagian tergolong şiqah dan şiqah mutqin, sedangkan Abu Hurairah adalah sahabat Rasulullah saw. Menurut Abi Jamrah, metode deduktif (memberitahukan secara global) suatu materi pelajaran, akan memunculkan keingintahuan pelajar tentang isi materi pelajaran, sehingga lebih mengena di hati dan memberi manfaat yang lebih besar. (an-Andalusi, 1979, I: 97).


d. Metode perumpamaan
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَاللَّفْظُ لَهُ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ يَعْنِي الثَّقَفِيَّ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَثَلُ الْمُنَافِقِ كَمَثَلِ الشَّاةِ الْعَائِرَةِ بَيْنَ الْغَنَمَيْنِ تَعِيرُ إِلَى هَذِهِ مَرَّةً وَإِلَى هَذِهِ مَرَّةً .


Artinya; Hadis dari Muhammad ibn Mutsanna dan lafaz darinya, hadis dari Abdul Wahhâb yakni as- Śaqafi, hadis Abdullah dari Nâfi’ dari ibn Umar, Nabi saw. bersabda: Perumpamaan orang munafik dalam keraguan mereka adalah seperti kambing yang kebingungan di tengah kambing-kambing yang lain. Ia bolak balik ke sana ke sini. (Muslim, IV: 2146)


Hadis di atas tergolong syarîf marfu’ dengan kualitas perawi yang sebagian tergolong şiqah dan şiqah şubut, şiqah hâfiz, sedangkan ibn Umar adalah sahabat Rasulullah saw. Menurut ath-Thîby (1417H, XI: 2634), orang-orang munafik, karena mengikut hawa nafsu untuk memenuhi syahwatnya, diumpamakan seperti kambing jantan yang berada di antara dua kambing betina. Tidak tetap pada satu betina, tetapi berbolak balik pada ke duanya. Hal tersebut diumpamakan seperti orang munafik yang tidak konsisten dengan satu komitmen.
Perumpamaan dilakukan oleh Rasul saw. sebagai satu metode pembelajaran untuk memberikan pemahaman kepada sahabat, sehingga materi pelajaran dapat dicerna dengan baik. Matode ini dilakukan dengan cara menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain, mendekatkan sesuatu yang abstrak dengan yang lebih konkrit. Perumpamaan yang digunakan oleh Rasulullah saw. sebagai satu metode pembelajaran selalu syarat dengan makna, sehinga benar-benar dapat membawa sesuatu yang abstrak kepada yang konkrit atau menjadikan sesuatu yang masih samar dalam makna menjadi sesuatu yang sangat jelas.


e. Metode kiasan.


حَدَّثَنَا يَحْيَى قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ مَنْصُورِ بْنِ صَفِيَّةَ عَنْ أُمِّهِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ امْرَأَةً سَأَلَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ غُسْلِهَا مِنْ الْمَحِيضِ فَأَمَرَهَا كَيْفَ تَغْتَسِلُ قَالَ خُذِي فِرْصَةً مِنْ مَسْكٍ فَتَطَهَّرِي بِهَا قَالَتْ كَيْفَ أَتَطَهَّرُ قَالَ تَطَهَّرِي بِهَا قَالَتْ كَيْفَ قَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ تَطَهَّرِي فَاجْتَبَذْتُهَا إِلَيَّ فَقُلْتُ تَتَبَّعِي بِهَا أَثَرَ الدَّمِ….
Artinya: Hadis Yahya, katanya hadis ‘Uyainah dari Mansyur ibn Shafiyyah dari Ibunya dari Aisyah, seorang wanita bertanya pada Nabi saw. tentang bersuci dari haid. Aisyah menyebutkan bahwa Rasul saw. mengajarkannya bagaimana cara mandi. Kemudian kamu mengambil secarik kain dan memberinya minyak wangi dan bersuci dengannya. Ia bertanya, bagaimana aku bersuci dengannya? Sabda Rasul saw. Kamu bersuci dengannya. Subhânallah, beliau menutup wajahnya. Aisyah mengatakan telusurilah bekas darah (haid) dengan kain itu. (al-Bukhari, I: 119)


Hadis di atas tergolong syarîf marfu’ dengan kualitas perawi yang sebagian tergolong şiqah dan şiqah hâfiz, sedangkan Aisyah adalah istri Rasulullah saw. Ibn Hajar, memberi komentar terhadap hadis ini dengan mengatakan ini adalah dalil tentang disunnahkannya menggunkan kiasan/sindiran pada hal-hal yang berkenaan dengan aurat dan bimbingan untuk masalah-masalah yang dianggap aib. (al-Asqalani, I: 415-416). Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, mengatakan cara mempergunakan kiasan dalam pembelajaran, yaitu:
1) Rayuan dalam nasehat, seperti memuji kebaikan anak didik, dengan tujuan agar lebih meningkatkan kualitas akhlaknya, dengan mengabaikan membicarakan keburukannya.
2) Menyebutkan tokoh-tokoh agung umat Islam masa lalu, sehingga membangkitkan semangat mereka untuk mengikuti jejak mereka.
3) Membangkitkan semangat dan kehormatan anak didik.
4) Sengaja menyampaikan nasehat di tengah anak didik.
5) Menyampaikan nasehat secara tidak langsung/ melalui kiasan.
6) Memuji di hadapan orang yang berbuat kesalahan, orang yang mengatakan sesuatu yang berbeda dengan perbuatannya. Merupakan cara mendorong seseorang untuk berbuat kebajikan dan meninggalkan keburukan.


f. Metode memberi kemudahan.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ حَدَّثَنِي أَبُو التَّيَّاحِ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَسِّرُوا وَلا تُعَسِّرُوا وَبَشِّرُوا وَلا تُنَفِّرُوا وكان يحب التخفيف والتسري على الناس.


Artinya: Hadis Muhammad ibn Basysyar katanya hadis Yahya ibn Sâ’id katanya hadis Syu’bah katanya hadis Abu Tayyâh dari Anas ibn Malik dari Nabi saw. Rasulullah saw. bersabda: Mudahkanlah dan jangan mempersulit. Rasulullah saw. suka memberikan keringanan kepada manusia.(al-Bukhari, I: 38)


Hadis di atas tergolong syarîf marfu’ dengan kualitas perawi yang sebagian tergolong şiqah dan şiqah hâfiz, Anas adalah sahabat Rasul saw. Ibnu Hajar al-Asqalâni mengomentari hadis tersebut dengan mengatakan pentingnya memberikan kemudahan bagi pelajar yang memiliki kesungguhan dalam belajar, (al-Asqalani, I: 62) dalam arti mengajarkan ilmu pengetahuan harus mempertimbangkan kemampuan si pelajar.
Sebagai pendidik, Rasulullah saw. tidak pernah mempersulit, dengan harapan para sahabat memiliki motivasi yang kuat untuk tetap meningkatkan aktivitas belajar .


g. Metode perbandingan.
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ ح و حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي وَمُحَمَّدُ بْنُ بِشْرٍ ح و حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا مُوسَى بْنُ أَعْيَنَ ح و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ كُلُّهُمْ عَنْ إِسْمَعِيلَ بْنِ أَبِي خَالِدٍ ح و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ وَاللَّفْظُ لَهُ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ حَدَّثَنَا قَيْسٌ قَالَ سَمِعْتُ مُسْتَوْرِدًا أَخَا بَنِي فِهْرٍ يَقُولُا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاللَّهِ مَا الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هَذِهِ وَأَشَارَ يَحْيَى بِالسَّبَّابَةِ فِي الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِعُ وَفِي حَدِيثِهِمْ جَمِيعًا غَيْرَ يَحْيَى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ ذَلِكَ وَفِي حَدِيثِ أَبِي أُسَامَةَ عَنْ الْمُسْتَوْرِدِ بْنِ شَدَّادٍ أَخِي بَنِي فِهْرٍ وَفِي حَدِيثِهِ أَيْضًا قَالَ وَأَشَارَ إِسْمَعِيلُ بِالْإِبْهَامِ.


Artinya: Hadis Abu Bakr ibn Abi Syaibah, hadis Abdullah ibn Idris, Hadis ibn Numair, hadis Abi Muhammad ibn Bisyr, hadis Yahya ibn Yahya, khabar dari Musa ibn A’yân, hadis Muhammad ibn Rafi’, hadis Abu Usamah dari Ismail ibn Abi Khalid, hadis Muhammad ibn Hatim dan lafaz darinya, hadis Yahya ibn Sa’id, hadis Ismâil, hadis Qâis katanya aku mendengar Mustaurid saudara dari bani Fihrin katanya, Rasul saw. bersabda: Demi Allah tidaklah dunia dibandingkan dengan akhirat kecuali seperti seorang yang menaruh jarinya ini, beliau menunjuk kepada telunjuknya di laut, kemudian perhatikan apa yang tersisa di telunjuknya. (Muslim, IV: 3193)


Hadis di atas tergolong syarif marfu’ dengan kualitas perawi yang sebagian tergolong şiqah dan şiqah hafiz, şiqah şubut dan śaduq. Imam an-Nawâwi memberi komentar pada hadis ini, dengan ungkapan” akhirat dibandingkan dengan dunia, dalam hal waktunya dunia itu singkat dan kenikmatannya yang sirna, sedangkan akhirat serba abadi, sebagaimana perbandingan antara air yang lengket pada jari dibanding dengan sisanya di lautan. (an-Nawawi, XVII: 192-193)
Makna hadis di atas yaitu pentingnya metode perbandingan dalam pendidikan, sehingga potensi jasmaniah dan rohaniah si pembelajar dapat memahami hal-hal yang memiliki perbedaan antara suatu permasalahan dengan lainnya.


3. Hadis-hadis Tentang Metode Pendidikan dalam Lingkup Mikro
a. Metode tanya jawab
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا لَيْثٌ ح وَقَالَ قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا بَكْرٌ يَعْنِي ابْنَ مُضَرَ كِلَاهُمَا عَنْ ابْنِ الْهَادِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَفِي حَدِيثِ بَكْرٍ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهْرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ مِنْهُ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسَ مَرَّاتٍ هَلْ يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَيْءٌ قَالُوا لَا يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَيْءٌ قَالَ فَذَلِكَ مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ يَمْحُو اللَّهُ بِهِنَّ الْخَطَايَا.


Artinya: Hadis Qutaibah ibn Sa’id, hadis Lâis kata Qutaibah hadis Bakr yaitu ibn Mudhar dari ibn Hâd dari Muhammad ibn Ibrahim dari Abi Salmah ibn Abdurrahmân dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah saw. bersabda; Bagaimana pendapat kalian seandainya ada sungai di depan pintu salah seorang di antara kalian. Ia mandi di sana lima kali sehari. Bagaimana pendapat kalian? Apakah masih akan tersisa kotorannya? Mereka menjawab, tidak akan tersisa kotorannya sedikitpun. Beliau bersabda; Begitulah perumpamaan salat lima waktu, dengannya Allah menghapus dosa-dosa. (Muslim, I: 462-463)


Hadis di atas tergolong syarîf marfu’ dengan kualitas perawi yang sebagian tergolong şiqah dan şiqah şubut, sedangkan Abu Hurairah adalah sahabat Rasulullah saw. Metode bertanya ini untuk mengajak si pendengar agar fokus dengan pembahasan. Misalnya kata; ”bagaimana pendapat kalian?” adalah pertanyaan yang diajukan untuk meminta informasi. Maksudnya beritahukan padaku, apakah masih tersisa?. Menurut at-Thiiby, sebagaimana dikutip al-Asqalâni, menjelaskan lafaz ”لو” dalam hadis tersebut memberi makna perumpamaan. (al-Asqalani, I: 462).
Metode tanya jawab, apakah pembicaraan antara dua orang atau lebih, dalam pembicaraan tersebut mempunyai tujuan dan topik tertentu. Metode dialog berusaha menghubungkan pemikiran seseorang dengan orang lain, serta mempunyai manfaat bagi pelaku dan pendengarnya.(an-Nahlawi, 1996: 205). Uraian tersebut memberi makna bahwa dialog dilakukan oleh seseorang dengan orang lain, baik mendengar langsung atau melalui bacaan. Nahlawi, mengatakan pembaca dialog akan mendapat keuntungan berdasarkan karakteristik dialog, yaitu topik dialog disajikan dengan pola dinamis sehingga materi tidak membosankan, pembaca tertuntun untuk mengikuti dialog hingga selesai. Melalui dialog, perasaan dan emosi akan terbangkitkan, topik pembicaraan disajikan bersifat realistik dan manusiawi. Dalam Alquran banyak memberi informasi tentang dialog, di antara bentuk-bentuk dialog tersebut adalah dialog khitâbi, ta’abbudi, deskritif, naratif, argumentatif serta dialog nabawiyah. Metode tanya jawab, sering dilakukan oleh Rasul saw. dalam mendidik akhlak para sahabat. Dialog akan memberi kesempatan kepada peserta didik untuk bertanya tentang sesuatu yang tidak mereka pahami. Pada dasarnya metode tanya jawab adalah tindak lanjut dari penyajian ceramah yang disampaikan pendidik. Dalam hal penggunaan metode ini, Rasulullah saw. menanyakan kepada para sahabat tentang penguasaan terhadap suatu masalah.


b. Metode Pengulangan.
حَدَّثَنَا مُسَدَّدُ بْنُ مُسَرْهَدٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ بَهْزِ بْنِ حَكِيمٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ.


Artinya: Hadis Musaddad ibn Musarhad hadis Yahya dari Bahzâ ibn Hâkim, katanya hadis dari ayahnya katanya ia mendengar Rasulullah saw bersabda: Celakalah bagi orang yang berbicara dan berdusta agar orang-orang tertawa. Kecelakaan baginya, kecelakaan baginya. (As-Sijistani, t.t, II: 716).


Hadis di atas tergolong syarîf marfu’ dengan kualitas perawi yang sebagian tergolong şiqah dan şiqah hafiz, şiqah sadũq. Rasulullah saw. mengulang tiga kali perkataan ”celakalah”, ini menunjukkan bahwa pembelajaran harus dilaksanakan dengan baik dan benar, sehingga materi pelajaran dapat dipahami dan tidak tergolong pada orang yang merugi.
Satu proses yang penting dalam pembelajaran adalah pengulangan/latihan atau praktek yang diulang-ulang. Baik latihan mental dimana seseorang membayangkan dirinya melakukan perbuatan tertentu maupun latihan motorik yaitu melakukan perbuatan secara nyata merupakan alat-alat bantu ingatan yang penting. Latihan mental, mengaktifkan orang yang belajar untuk membayangkan kejadian-kejadian yang sudah tidak ada untuk berikutnya bayangan-bayangan ini membimbing latihan motorik. Proses pengulangan juga dipengaruhi oleh taraf perkembangan seseorang. Kemampuan melukiskan tingkah laku dan kecakapan membuat model menjadi kode verbal atau kode visual mempermudah pengulangan. Metode pengulangan dilakukan Rasulullah saw. ketika menjelaskan sesuatu yang penting untuk diingat para sahabat.


c. Metode demonstrasi
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ قَالَ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ قَالَ حَدَّثَنَا مَالِكٌ أَتَيْنَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ شَبَبَةٌ مُتَقَارِبُونَ فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ يَوْمًا وَلَيْلَةً وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَحِيمًا رَفِيقًا فَلَمَّا ظَنَّ أَنَّا قَدْ اشْتَهَيْنَا أَهْلَنَا أَوْ قَدْ اشْتَقْنَا سَأَلَنَا عَمَّنْ تَرَكْنَا بَعْدَنَا فَأَخْبَرْنَاهُ قَالَ ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ وَذَكَرَ أَشْيَاءَ أَحْفَظُهَا أَوْ لا أَحْفَظُهَا وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي.


Artinya: Hadis dari Muhammad ibn Muşanna, katanya hadis dari Abdul Wahhâb katanya Ayyũb dari Abi Qilâbah katanya hadis dari Mâlik. Kami mendatangi Rasulullah saw. dan kami pemuda yang sebaya. Kami tinggal bersama beliau selama (dua puluh malam) 20 malam. Rasulullah saw adalah seorang yang penyayang dan memiliki sifat lembut. Ketika beliau menduga kami ingin pulang dan rindu pada keluarga, beliau menanyakan tentang orang-orang yang kami tinggalkan dan kami memberitahukannya. Beliau bersabda; kembalilah bersama keluargamu dan tinggallah bersama mereka, ajarilah mereka dan suruhlah mereka. Beliau menyebutkan hal-hal yang saya hapal dan yang saya tidak hapal. Dan salatlah sebagaimana kalian melihat aku salat. (al-Bukhari, I: 226)


Hadis di atas tergolong syarîf marfu’ dengan kualitas perawi yang sebagian tergolong şiqah dan şiqah kaşir, şiqah şubut. Hadis ini sangat jelas menunjukkan tata cara salat Rasulullah saw. kepada sahabat, sehingga para sahabat dipesankan oleh Rasulullah saw. agar salat seperti yang dicontohkan olehnya.
Menurut teori belajar sosial, hal yang amat penting dalam pembelajaran ialah kemampuan individu untuk mengambil intisari informasi dari tingkah laku orang lain, memutuskan tingkah laku mana yang akan diambil untuk dilaksanakan. Dalam pandangan paham belajar sosial, sebagaimana dikemukakan Grendler (1991: 369), orang tidak dominan didorong oleh tenaga dari dalam dan tidak oleh stimulus-stimulus yang berasal dari lingkungan. Tetapi sebagai interaksi timbal balik yang terus-menerus yang terjadi antara faktor-faktor penentu pribadi dan lingkungannya.
Metode demonstrasi dimaksudkan sebagai suatu kegiatan memperlihatkan suatu gerakan atau proses kerja sesuatu. Pekerjaannya dapat saja dilakukan oleh pendidik atau orang lain yang diminta mempraktekkan sesuatu pekerjaan. Metode demonstrasi dilakukan bertujuan agar pesan yang disampaikan dapat dikerjakan dengan baik dan benar.
Metode demonstrasi dapat dipergunakan dalam organisasi pelajaran yang bertujuan memudahkan informasi dari model (model hidup, model simbolik, deskripsi verbal) kepada anak didik sebagai pengamat. Sebagai contoh dipakai mata pelajaran Pikih kelas II pada madrasah Tsanawiyah yang membahas pelaksanaan shalat Zuhur. Kompetensi Dasar (KD) dari pokok bahasan tersebut adalah: “Siswa dapat melaksanaan ibadah shalat Zuhur setelah mengamati dan mempraktekkan berdasarkan model yang ditentukan”. Untuk mencapai tujuan pembelajaran, dibutuhkan beberapa kemampuan yang harus dikuasai anak didik dalam indikator pencapaian, yaitu :
1) Kemampuan gerakan (melakukan posisi berdiri tegak menghadap kiblat, mengangkat tangan sejajar dengan telinga ketika takbiratul ihram, membungkuk dengan memegang lutut ketika ruku’, melakukan i’tidal, melakukan sujud dengan kening menempel di sajadah, melakukan duduk di antara dua sujud, melakukan duduk tahyat akhir yang agak berbeda dengan duduk di antara dua sujud, melakukan salam dengan menoleh ke kanan dan kiri.
2) Kemampuan membaca bacaan salat (bacaan surat al-Fatihah, bacaan ayat Alquran, bacaan ruku’, bacaan berdiri i’tidâl, bacaan sujud, bacaan duduk antara dua sujud, bacaan tahyat awal dan akhir.
3) Menganalisis tingkah laku yang dimodelkan. Tingkah laku yang dimodelkan sesuai dengan bahan pelajaran adalah ‘motorik” meliputi keterampilan dalam gerakan salat dan kemampuan membaca bacaan shalat.
4) Menunjukkan model. Gerakan dalam salat dilakukan berdasarkan urut-urutannya (prosedural) dan bacaan dalam salat diucapkan dengan baik dan benar berdasarkan tata cara membaca Alquran (ilmu tajwid).
5) Memberikan kesempatan pada siswa untuk mempraktekkan dengan umpan balik yang dapat dilihat, tiap anak didik mempraktekkan kembali gerakan shalat Zuhur yang ditunjukkan oleh model seiring dengan aba-aba prosedur yang diberikan guru. Demikian pula dengan bacaan salat dapat dipraktekkan anak didik.
6) Memberikan reinforcement dan motivasi. Guru memberikan penguatan pada anak didik yang telah berhasil melakukan gerakan dengan baik dan benar dan mengarahkan serta memperbaiki gerakan dan bacaan anak didik yang belum sesuai.


d. Metode eksperimen


حَدَّثَنَا آدَمُ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا الْحَكَمُ عَنْ ذَرٍّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى عَنْ أَبِيهِ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ إِنِّي أَجْنَبْتُ فَلَمْ أُصِبْ الْمَاءَ فَقَالَ عَمَّارُ بْنُ يَاسِرٍ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَمَا تَذْكُرُ أَنَّا كُنَّا فِي سَفَرٍ أَنَا وَأَنْتَ فَأَمَّا أَنْتَ فَلَمْ تُصَلِّ وَأَمَّا أَنَا فَتَمَعَّكْتُ فَصَلَّيْتُ فَذَكَرْتُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ هَكَذَا فَضَرَبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَفَّيْهِ الْأَرْضَ وَنَفَخَ فِيهِمَا ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ ….


Artinya: Hadis Adam, katanya hadis Syu’bah ibn Abdurrahmân ibn Abzâ dari ayahnya, katanya seorang laki-laki datang kepada Umar ibn Khattâb, maka katanya saya sedang janabat dan tidak menemukan air, kata Ammar ibn Yasir kepada Umar ibn Khattâb, tidakkah anda ingat ketika saya dan anda dalam sebuah perjalanan, ketika itu anda belum salat, sedangkan saya berguling-guling di tanah, kemudian saya salat. Saya menceritakannya kepada Rasul saw. kemudian Rasulullah saw. bersabda: ”Sebenarnya anda cukup begini”. Rasul memukulkan kedua telapak tangannya ke tanah dan meniupnya kemudian mengusapkan keduanya pada wajah.(al-Bukhari, I: 129)


Hadis di atas tergolong syarîf marfu’ dengan kualitas perawi yang sebagian tergolong şiqah dan şiqah hafiz, şiqah şubut. Menurut al-Asqalani, hadis ini mengajarkan sahabat tentang tata cara tayammum dengan perbuatan. (Al-Asqalani, I: 444) Sahabat Rasulullah saw. melakukan upaya pensucian diri dengan berguling di tanah ketika mereka tidak menemukan air untuk mandi janabat. Pada akhirnya Rasulullah saw. memperbaiki ekperimen mereka dengan mencontohkan tata cara bersuci menggunakan debu.


e. Metode pemecahan masalah.


حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ الشَّجَرِ شَجَرَةً لَا يَسْقُطُ وَرَقُهَا وَإِنَّهَا مَثَلُ الْمُسْلِمِ فَحَدِّثُونِي مَا هِيَ فَوَقَعَ النَّاسُ فِي شَجَرِ الْبَوَادِي قَالَ عَبْدُ اللَّهِ وَوَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ فَاسْتَحْيَيْتُ ثُمَّ قَالُوا حَدِّثْنَا مَا هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ هِيَ النَّخْلَةُ.


Artinya: Hadis Quthaibah ibn Sâ’id, hadis Ismâil ibn Ja’far dari Abdullah ibn Dinar dari Umar, sabda Rasulullah saw. Sesungguhnya di antara pepohonan itu ada sebuah pohon yang tidak akan gugur daunnya dan pohon dapat diumpamakan sebagai seorang muslim, karena keseluruhan dari pohon itu dapat dimanfaatkan oleh manusia. Cobalah kalian beritahukan kepadaku, pohon apakah itu? Orang-orang mengatakan pohon Bawâdi. Abdullah berkata; Dalam hati saya ia adalah pohon kurma, tapi saya malu (mengungkapkannya). Para sahabat berkata; beritahukan kami wahai Rasulullah!. Sabda Rasul saw; itulah pohon kurma.(al-Bukhari, I: 34).


Hadis di atas tergolong syarîf marfū’ dengan kualitas perawi yang sebagian tergolong şiqah şubut, dan şiqah, sedangkan ibn Umar ra. adalah sahabat Rasulullah saw. Al-Asqalâni (I:147), menyebutkan dengan metode perumpamaan tersebut dapat menambah pemahaman, menggambarkannya agar melekat dalam ingatan serta mengasah pemikiran untuk memandang permasalahan yang terjadi. (al-Asqalani, I: 147). Metode tanya jawab berusaha menghubungkan pemikiran seseorang dengan orang lain, serta mempunyai manfaat bagi pelaku dan pendengarnya, melalui dialog, perasaan dan emosi pembaca akan terbangkitkan, jika topik pembicaraan disajikan bersifat realistik dan manusiawi. (an-Nahlawi, t.t.: 205) Uraian tersebut memberi makna bahwa dialog dilakukan oleh seseorang dengan orang lain, baik mendengar langsung atau melalui bacaan.


f. Metode diskusi
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَعَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ قَالَا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ وَهُوَ ابْنُ جَعْفَرٍ عَنْ الْعَلَاءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ.


Artinya: Hadis Qutaibah ibn Sâ’id dan Ali ibn Hujr, katanya hadis Ismail dan dia ibn Ja’far dari ‘Alâ’ dari ayahnya dari Abu Hurairah ra. bahwasnya Rasulullah saw. bersabda: Tahukah kalian siapa orang yang muflis (bangkrut)?, jawab mereka; orang yang tidak memiliki dirham dan harta. Rasul bersabda; Sesungguhnya orang yang muflis dari ummatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan (pahala) salat, puasa dan zakat,. Dia datang tapi telah mencaci ini, menuduh ini, memakan harta orang ini, menumpahkan darah (membunuh) ini dan memukul orang ini. Maka orang itu diberi pahala miliknya. Jika kebaikannya telah habis sebelum ia bisa menebus kesalahannya, maka dosa-dosa mereka diambil dan dicampakkan kepadanya, kemudian ia dicampakkan ke neraka.(Muslim, t.t, IV: 1997)


Hadis di atas tergolong syarîf marfū’ dengan kualitas perawi yang sebagian tergolong şiqah dan şiqah şubut, şiqah hâfiz, sedangkan Abu Hurairah ra. adalah sahabat Rasulullah saw. Menurut an-Nawâwi, Penjelasan hadis di atas yaitu Rasulullah saw. memulai pembelajaran dengan bertanya dan jawaban sahabat ternyata salah, maka Rasulullah saw. menjelaskan bahwa bangkrut dimaksud bukanlah menurut bahasa. Tetapi bangkrut yang dimaksudkan adalah peristiwa di akhirat tentang pertukaran amal kebaikan dengan kesalahan. (an-Nawawi, t.t, XVI: 136).


g. Metode pujian/memberi kegembiraan.
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي سُلَيْمَانُ عَنْ عَمْرِو بْنِ أَبِي عَمْرٍو عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ قَالَ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ ظَنَنْتُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ أَنْ لَا يَسْأَلُنِي عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ أَحَدٌ أَوَّلُ مِنْكَ لِمَا رَأَيْتُ مِنْ حِرْصِكَ عَلَى الْحَدِيثِ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ.
Artinya: Hadis Abdul Aziz ibn Abdillah katanya menyampaikan padaku Sulaiman dari Umar ibn Abi Umar dari Sâ’id ibn Abi Sa’id al-Makbârî dari Abu Hurairah, ia berkata: Ya Rasulullah, siapakah yang paling bahagia mendapat syafa’atmu pada hari kiamat?, Rasulullah saw bersabda: Saya sudah menyangka, wahai Abu Hurairah, bahwa tidak ada yang bertanya tentang hadis ini seorangpun yang mendahului mu, karena saya melihat semangatmu untuk hadis. Orang yang paling bahagia dengan syafaatku ada hari Kiamat adalah orang yang mengucapkan ”Lâilaha illa Allah” dengan ikhlas dari hatinya atau dari dirinya.(al-Bukhari, t.t, I: 49)


Hadis di atas tergolong syarîf marfu’ dengan kualitas perawi yang sebagian tergolong şiqah dan şiqah şubut. sedangkan Abu Hurairah adalah sahabat Rasul saw. Ibn Abi Jamrah mengatakan hadis ini menjadi dalil bahwa sunnah hukumnya memberikan kegembiraan kepada anak didik sebelum pembelajaran dimulai. Sebagaimana Rasulullah saw. mendahulukan sabdanya; ’saya telah menyangka’, selain itu ‘karena saya telah melihat semangatmu untuk hadis’. Oleh sebab itu perlu memberikan suasana kegembiraan dalam pembelajaran. (Andalusi, t.t :133-134)


h. Metode pemberian hukuman.
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي عَمْرٌو عَنْ بَكْرِ بْنِ سَوَادَةَ الْجُذَامِيِّ عَنْ صَالِحِ بْنِ خَيْوَانَ عَنْ أَبِي سَهْلَةَ السَّائِبِ بْنِ خَلَّادٍ قَالَ أَحْمَدُ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَجُلًا أَمَّ قَوْمًا فَبَصَقَ فِي الْقِبْلَةِ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْظُرُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ فَرَغَ لَا يُصَلِّي لَكُمْ….


Artinya: Hadis Ahmad ibn Shalih, hadis Abdullah ibn Wahhab, Umar memberitakan padaku dari Bakr ibn Suadah al-Juzâmi dari Shâlih ibn Khaiwân dari Abi Sahlah as-Sâ’ib ibn Khallâd, kata Ahmad dari kalangan sahabat Nabi saw. bahwa ada seorang yang menjadi imam salat bagi sekelompok orang, kemudian dia meludah ke arah kiblat dan Rasulullah saw. melihat, setelah selesai salat Rasulullah saw. bersabda ”jangan lagi dia menjadi imam salat bagi kalian”… (Sijistani, t.t, I: 183).


Hadis di atas tergolong syarîf marfū’ dengan kualitas perawi yang sebagian tergolong şiqah hâfiz, şiqah dan şiqah azaly. memberikan hukuman (marah) karena orang tersebut tidak layak menjadi imam. Seakan-akan larangan tersebut disampaikan beliau tampa kehadiran imam yang meludah ke arah kiblat ketika salat. (Abadi, t.t, II: 105-106). Dengan demikian Rasulullah saw. memberi hukuman mental kepada seseorang yang berbuat tidak santun dalam beribadah dan dalam lingkungan sosial.
Sanksi dalam pendidikan mempunyai arti penting, pendidikan yang terlalu lunak akan membentuk pelajar kurang disiplin dan tidak mempunyai keteguhan hati. Sanksi tersebut dapat dilakukan dengan tahapan sebagai berikut, dengan teguran, kemudian diasingkan dan terakhir dipukul dalam arti tidak untuk menyakiti tetapi untuk mendidik. Kemudian dalam menerapkan sanksi fisik hendaknya dihindari kalau tidak memungkinkan, hindari memukul wajah, memukul sekedarnya saja dengan tujuan mendidik, bukan balas dendam. Alternatif lain yang mungkin dapat dilakukan adalah;
1) Memberi nasehat dan petunjuk.
2) Ekspresi cemberut.
3) Pembentakan.
4) Tidak menghiraukan murid.
5) Pencelaan disesuaikan dengan tempat dan waktu yang sesuai.
6) Jongkok.
7) Memberi pekerjaan rumah/tugas.
8) Menggantungkan cambuk sebagai simbol pertakut.
9) Alternatif terakhir adalah pukulan ringan. (al-Syalhub, Terj. Abu Haekal, 2005: 59-60).
Hal yang menjadi prinsip dalam memberikan sanksi adalah tahapan dari yang paling ringan, sebab tujuannya adalah pengembangan potensi baik yang ada dalam diri anak didik.


C. Penutup
Metode pendidikan adalah cara yang dipergunakan pendidik dalam menyampaikan bahan pelajaran kepada peserta didik, sehingga dengan metode yang tepat dan sesuai, bahan pelajaran dapat dikuasai dengan baik oleh peserta didik. Beberapa metode pendidikan yang dikemukakan dalam makalah ini (masih banyak yang belum), terdiri dari metode keteladanan, metode lemah lembut/kasih sayang, metode deduktif, metode perumpamaan, metode kiasan, metode memberi kemudahan, metode perbandingan, metode tanya jawab, metode pengulangan, metode demonstrasi, metode eksperimen, metode pemecahan masalah, metode diskusi, metode pujian/memberi kegembiraan, metode pemberian hukuman dapat dilaksanakan pendidik dalam penanaman nilai-nilai pada ranah afektif dan pengembangan pola pikir pada ranah kognitif serta latihan berperilaku terpuji pada ranah psikomotorik.
.